Senin, 10 Januari 2011

Nama : Billy R. Rompas
NRI : 070213053
Minat : Informatika

STUDI KELAYAKAN PROYEK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. HENRISON INTI PERSADA, PAPUA

A. Aspek Pasar dan Pemasaran
Sampai saat ini, sekitar 70 negara di dunia telah menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku industri pangan maupun non pangan. Pemakai dengan jumlah antara 100 – 200 ribu ton sebanyak 21 negara, sedangkan yang memakai lebih dari 200 ribu ton ada 12 negara. Di antara negara-negara pemakai minyak tersebut, India merupakan negara pemakai terbesar, yakni 1.045 ribu ton pada tahun 1988, disusul oleh Indonesia, Nigeria, Malaysia, RRC dan Pakistan. RRC yang biasanya mengkonsumsi minyak kedelai, pada tahun 1988 mengkonsumsi minyak sawit sebesar 435 ribu ton. Iklim yang tidak mendukung bagi produksi kedelai serta penduduk RRC yang sangat padat, cukup potensial bagi pasar minyak sawit Indonesia (Soetrisno dan Winahyu, 1991).
Minyak sawit bukanlah produk akhir, melainkan merupakan input antara (intermediate input) untuk berbagai macam produk industri. Oleh karena itu, permintaannya sangat dipengaruhi oleh harga maupun pasokan dari minyak lain yang menjadi substitusinya. Pasokan minyak kelapa yang tidak stabil dan harga minyak sawit yang cenderung lebih rendah telah menyebabkan minyak sawit sebagai pemasok utama kebutuhan minyak nabati dalam negeri beberapa tahun belakangan ini. Minyak sawit ini terutama digunakan dalam industri minyak goreng, sabun dan margarine, serta industri kimia lain yang jumlahnya masih relatif kecil.
Kapasitas terpasang dari 35 pabrik pengolahan minyak goreng yang menggunakan minyak sawit mencapai 2,88 juta ton crude palm oil (CPO) per tahun atau 173 % di atas kapasitas yang diizinkan oleh pemerintah. Sedangkan, kemampuan produksi total CPO masih di bawah 1,5 juta ton. Terbatasnya pasokan CPO juga menyebabkan proses diversifikasi vertikal industri minyak sawit Indonesia sangat lamban. Padahal, prospek pasar bagi produk non minyak goreng dari bahan baku minyak dan inti sawit sangat baik. Pasar dunia untuk gliserine dan PVC stabilizer umpamanya sangat terbuka, karena permintaan yang cukup besar di pasar dunia terhadap kedua produk tersebut. Rusia membutuhkan gliserine minimal 500 ton setiap bulan atau 6.000 ton per tahun. Sedangkan, Jepang membutuhkan PVC stabilizer 3.500 ton per bulan (Budiman dalam Soetrisno dan Winahyu, 1991). Prospek industry minyak sawit Indonesia dapat menjadi lebih cerah bila para industriawan Indonesia mau dan mampu memanfatkan keragaman produk yang terkandung dalam minyak sawit, dengan terlebih dahulu dilakukan pembenahan masalah pasokan CPO oleh pemerintah.
Negara produsen utama minyak sawit dunia adalah Indonesia dan Malaysia. Di Malaysia, kelapa sawit merupakan sumber devisa negara, karena sebagian besar produksinya diekspor, sementara bagi Indonesia dan Nigeria, kelapa sawit terutama digunakan untuk keperluan dalam negeri, sehingga ekspornya merupakan sisa dari konsumsi dalam negeri. Singapura yang bukan negara produsen minyak sawit ternyata punya andil cukup besar dalam ekspor dunia. Hal ini
berarti pabrik-pabrik pengolahan yang ada di Singapura mengekspor minyak sawit yang diimpor dari Malaysia maupun Indonesia.
Dari segi komoditas, kompetitor utama minyak sawit adalah minyak kedelai, sedangkan dari negara yang memproduksi minyak sawit, kompetitor minyak sawit Indonesia adalah Malaysia. Namun demikian, Indonesia memiliki comparative advantage dari segi biaya produksi minyak nabati terkemuka. Hal ini karena kelapa sawit tergolong tanaman keras tropika, sedangkan penghasil minyak nabati lainya adalah tanaman semusim. Secara rinci hal ini bisa dilihat pada Tabel 1.
Terkait dengan strategi pemasaran produk olahan kelapa sawit yang dihasilkan PT. Henrison Inti Persada, maka perlu ditetapkan jenis produk yang dipasarkan, harga dan syarat penjualan, distribusi, dan penetapan pajak penjualan. Jenis produk yang dipasarkan adalah minyak sawit dan inti sawit hasil olahan dari tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan sendiri dan yang dibeli dari plasma. Distribusi pemasaran minyak sawit (CPO) ditetapkan 70 % untuk tujuan ekspor dan 30 % untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sedangkan inti sawit seluruhnya dipasarkan di dalam negeri. Harga yang ditetapkan untuk minyak sawit ekspor minimal sebesar Rp 1.288/kg, sedangkan untuk pasaran lokal (domestik) Rp 1.000/kg. Harga inti sawit untuk pasar lokal Rp 720/kg dan harga ekspor Rp 627,51/kg. Pajak yang dikenakan terhadap penjualan produk olahan kelapa sawit dibedakan antara pajak ekspor dan pajak penjualan lokal. Dalam hal ini, diproyeksikan pajak ekspor sebesar 14 % dari jumlah hasil ekspor, sedangkan pajak penjualan lokal sebesar 10 % dari jumlah hasil penjualan lokal.
B. Aspek Teknis dan Teknologis
Membangun perkebunan kelapa sawit dengan menggunakan teknologi budidaya dan pengolahan yang canggih harus memperhitungkan kapasitas produksi yang ekonomis sehingga investasi di subsektor ini benar-benar dapat memberikan manfaat di kemudian hari. Pendirian pabrik yang mencakup mesin-mesin dan peralatannya dengan kapasitas standar tertentu yang dari hasil penelitian telah memiliki skala produksi yang optimal telah tersedia di pasaran. Selanjutnya, pihak pemrakarsa proyek tinggal menyesuaikan luasan kebun kelapa sawit yang harus dibangun. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa satu unit pabrik dapat memproses 30 ton TBS/jam, dan dapat diperluas menurut kelipatannya.
Pada proyek ini, ditetapkan pembangunan pabrik secara bertahap, dimulai dengan kapasitas 30 ton TBS/jam pada tahun ke-4, kemudian diperluas menjadi 60 ton TBS/jam pada tahun ke-5 dan meningkat menjadi 90 ton TBS/jam pada tahun ke-6, dengan mempertimbangkan produksi TBS yang dihasilkan oleh perusahaan inti dan plasma.
Jenis produk utama yang dihasilkan adalah minyak sawit dan inti sawit hasil olahan TBS yang diproduksi dari kebun inti dan kebun plasma. Proyeksi jumlah TBS, minyak sawit, dan inti sawit yang diproduksi masing-masing inti dan plasma selama umur proyek dapat disajikan pada
Lampiran 1. Produksi minyak sawit dan inti sawit diperhitungkan berdasarkan rendemen terhadap TBS dari masing-masing inti dan plasma. Kapasitas terpasang pada tahun ke-5 dan ke-6 sebesar 30 ton TBS/jam, selanjutnya 60 ton TBS/jam pada tahun ke-7, dan 90 ton TBS/jam mulai tahun ke-8 sampai proyek ini berakhir pada tahun ke-25. Dalam hal ini, jumlah jam kerja per hari adalah 7 jam dengan kemungkinan jam kerja lembur 2-3 jam per hari tergantung pasokan TBS ke pabrik. Sedangkan jumlah hari kerja per bulan sebanyak 25 hari.
Teknologi yang canggih tidak hanya dibutuhkan dalam pemrosesan minyak sawit, namun juga dibutuhkan dalam pengolahan kebun dan pemeliharaan tanaman kelapa sawit. Sehingga model PIR-Bun seperti yang diprakarsai oleh PT. Henrison Inti Persada sangat tepat diterapkan dalam pengembangan kelapa sawit di Indonesia termasuk di Propinsi Papua.
Bahan baku yang diproses untuk mengahsilkan minyak sawit dan inti sawit adalah TBS yang dihasilkan dari kebun inti dan kebun plasma. TBS yang diproduksi dari kebun plasma dibeli oleh inti dengan harga yang telah ditetapkan dan disepakati kedua belah pihak antara inti dan plasma. Dalam pemrosesan TBS menjadi minyak sawit dan inti sawit tidak memerlukan bahan penolong yang spesifik, tetapi yang terpenting adalah adanya sumber air di lokasi pabrik. Lokasi proyek perkebunan kelapa sawit dengan model PIR-Bun adalah pada areal bekas HPH (hak pengelolaan hutan di Propinsi Papua (Irian Jaya). Daerah bekas HPH dipilih sebagai lokasi proyek dengan pertimbangan, bahwa opportunity cost of land-nya sama dengan nol, karena tanaman di atas areal tersebut terdiri atas semak belukar yang nilainya dianggap nol.
Lokasi pabrik pengolahan kelapa sawit harus memenuhi persyaratan tertentu, antara lain: (i) harus terletak di tengah perkebunan; (ii) terletak dekat dengan sumber air; (iii) dekat dengan tempat penyimpanan sementara dan tempat pengiriman CPO; (iv) bebas dari banjir dan harus memiliki lahan yang cukup luas untuk “tempat menginap” TBS dan guna membangun bengkel dan gedung-gedung lainnya; dan (v) dapat dibangun tempat pembuangan limbah pabrik.
Seluruh waktu yang diperlukan untuk membangun proyek ini adalah sebagai berikut: investasi kebun inti dan plasma dimulai dari tahun ke-1 hingga tahun ke-8. Tahun ke-1 hingga 4 merupakan masa pra operasi dan mulai tahun ke-5 proyek sudah dapat beroperasi hingga proyek berakhir. Jadwal investasi kebun inti disajikan pada Tabel 2. Sedangkan program pembangunan kebun inti dan plasma dapat disajikan pada Tabel 3.
C. Aspek Manajemen Operasional
Untuk mengelola perkebunan kelapa sawit ini akan diperlukan berbagai macam tenaga pimpinan dan tenaga inti dengan berbagai macam keahlian. Sebagai pimpinan operasional puncak akan diperlukan seorang manajer umum atau General Manager (Sutoyo, S., 1996). Dalam proyek ini sebagai pimpinan operasional puncak adalah pemimpin proyek (Pimpro). Pejabat ini harus menguasai segi teknis, pemasaran dan finansial proyek.
Guna menjamin kelancaran operasional, maka pada proyek ini akan diperbantukan seorang manajer, dalam hal ini Pemimpin Kebun. Pejabat ini akan membawahi tiga kompartemen, yakni (1) Asisten Kepala yang membawahi asisten-asisten komponen kebun; (2) Kepala Kantor (Administrasi) yang membidangi administrasi seluruh komponen proyek; dan (3) Masinis Kepala yang bertanggungjawab terhadap komponen pabrik. Di bawah Masinis Kepala terdapat Teknolog Kepala yang akan membawahi Asisten Teknolog, Asisten Pabrik, dan Asisten Laboratorium. Di bawah asisten terdapat Pegawai Bulanan dan Pegawai Harian.
Jenis dan jumlah tenaga kerja inti yang dibutuhkan disesuaikan dengan rencana penempatan pegawai kebun dan pekerja pabrik dengan standar gaji pegawai kebun inti dan pabrik yang telah ditetapkan dalam proyek ini.
Kegiatan operasional sehari-hari dilaksanakan oleh Pemimpin Kebun yang akan bertanggung jawab kepada Pemimpin Proyek. Untuk lebih jelasnya mengenai struktur organisasi yang diusulkan dalam proyek ini dapat disajikan pada Lampiran 2.
D. Aspek Finansial
Dana investasi yang dibutuhkan untuk membangun Proyek Perkebunan Kelapa Sawit ini sebesar Rp 231,79 Milyar yang akan dialokasikan untuk membangun kebun inti sebesar Rp 102,68 Milyar dan Kebun Palsma Rp 129,11 Milyar.
Dalam studi ini, diasumsikan bahwa untuk membiayai pembangunan dan operasi perkebunan akan diperoleh dua macam sumber pembiayaan, yaitu: (1) Modal sendiri (Equity Capital) dari PT. Henrison Inti Persada, dan (2) Modal berupa kredit investasi dan modal kerja dari pemerintah melalui mekanisme DIPP. Perbandingan antara pinjaman dan modal sendiri (debt/equity ratio) yang disarankan adalah 46/54 dengan tujuan untuk menekan jumlah biaya
pinjaman selama tahun-tahun pertama operasi. Jumlah pinjaman yang terlalu besar dibandingkan dengan modal sendiri akan mengakibatkan beban bunga yang terlalu berat, sehingga dapat membahayakan likuiditas maupun profitabilitas perusahaan pengelola proyek.
Kredit investasi dalam negeri diasumsikan diperoleh dalam jangka waktu pinjaman 13 tahun dengan masa tenggang pembayaran kembali selama empat tahun. Biaya pinjaman berupa bunga dibedakan antara pinjaman untuk perusahaan inti dan pinjaman untuk plasma. Bunga pinjaman untuk inti diharapkan sebesar 18 % per tahun dan untuk plasma sebesar 14 % per tahun. Pembayaran kembali pinjaman berupa angsuran pokok (principle) dan bunga (interest) selama 9 tahun setelah masa tenggang dengan cara mencicil menurut waktu pencairan pinjaman.
Biaya operasional tahunan dihitung untuk mempermudah para pemrakarsa dan pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengkaji prospek finansial perkebunan kelapa sawit ini di masa mendatang. Dalam menghitung biaya oparasional tahunan ini digunakan asumsiasumsi: (1) harga-harga bahan baku dan penolong pada dasarnya tidak akan berubah secara berarti; (2) hal yang serupa berlaku untuk upah langsung, gaji, dan biaya overhead; (3) harga jual minyak dan inti sawit tidak akan berubah secara berarti; dan (4) inflasi dalam negeri akan mempengaruhi harga jual produk dan biaya langsung secara sepadan.
Perhitungan NPV dan IRR melalui media komputer untuk perusahaan inti dan plasma berturut-turut didasarkan pada anggaran kebun inti dan plasma. NPV pada discount factor (DF) sebesar 18 % berdasarkan anggaran kebun inti selama umur proyek diperoleh sebesar negatip Rp 1.979,88 juta, yang berarti nilai bersih (net benefit) yang diterima proyek selama 25 tahun mendatang nilainya sekarang sebesar negatif Rp 1.979,88 juta. Sedangkan, kemampuan proyek untuk mengembalikan modal yang diukur berdasarkan IRR sebesar 17,16 %. Kalau proyek perkebunan ini hanya memperhatikan nilai kriteria NPV dan IRR ini tanpa meninjau kembali faktor besarnya harga produk (terutama harga ekspor CPO) dan besarnya biaya investasi, maka proyek ini bukanlah merupakan suatu competitive investment, sehingga rencana proyek tersebut sebaiknya tidak perlu dilaksanakan. Karena IRR yang lebih kecil dari social discount rate (18 %) akan tidak memberikan insentif yang cukup menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya pada proyek tersebut. Sehingga, lebih baik mereka memilih alternatif investasi lain yang bisa memberi manfaat yang lebih baik di masa mendatang.
Harga ekspor CPO yang ditetapkan sebelumnya sebesar Rp 1.288/kg bila disesuaikan dengan kisaran harga internasional tetapi masih memiliki competitive price, maka besar kemungkinannya bahwa rencana proyek ini dapat dijalankan. Dengan memperhatikan harga CPO dunia pada tahun 1996-2000 yang berada di atas US $ 35,0 Cts/kg, dengan asumsi kurs US $ 1 sama dengan Rp 7.500, dan dalam proyek ini nilai rupiah ditetapkan overvalued 50 % terhadap US $ sehingga US $ 1 menjadi sama dengan Rp 3.750, maka harga ekspor CPO Indonesia seharusnya sebesar Rp 1.312,5/kg. Pada tingkat harga tersebut diperoleh NPV (DF=18 %) sebesar Rp 164,50 juta dan IRR sebesar 18,07 % (lihat Lampiran 3). Dalam hal ini, IRR lebih besar dari pada social discount rate sebesar 18 %. Ini berarti, proyek ini merupakan suatu competitive investment, disamping manfaat ekonomis lain yang diperoleh, maka proyek tersebut layak untuk dilaksanakan.
Selanjutnya, berdasarkan anggaran kebun plasma (Lampiran 4) diperoleh NPV (DF=14 %) sebesar Rp 53.638,97 juta, dan kemampuan kebun plasma untuk mengembalikan modal (IRR) sebesar 22,37 %. Bagi plasma, karena IRR jauh lebih besar daripada social discount rate (14 %), maka secara finansial proyek tersebut sangat menguntungkan sehingga layak untuk dilaksanakan.
E. Analisis Rasio
Analisis rasio keuangan sering digunakan untuk mengukur prestasi dari aspek-aspek bisnis (Downey dan Ericson, 1992). Rasio keuangan yang dianalisis dalam studi ini meliputi rasio profitabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan rasio efisiensi.
Rasio profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Nilai net profit margin (NPM) menunjukkan keadaan yang normal, dengan nilai positif dimulai pada tahun ke-9, karena dari tahun ke-1 hingga tahun ke-8 perusahaan inti sedang melakukan investasi. Selanjutnya, mulai tahun ke-12 hingga proyek ini berakhir nilai NPM relatif stabil berkisar antara 0,45 - 0,49. NPM sebesar 0,49 berarti setiap pendapatan Rp 1 menghasilkan keuntungan bersih sesudah pajak sebesar Rp 0,49. Sedangkan, dari return on investment (ROI) yang menunjukkan kemampuan setiap Rp 1 aktiva untuk menghasilkan laba menunjukkan nilai positif mulai tahun ke-9. ROI yang stabil sebesar 0,14 diperoleh pada tahun ke-15 sampai akhir proyek. ROI sebesar 0,14 berarti setiap Rp 1 aktiva perusahaan mampu menghasilkan laba sebesar Rp 0,14.
Rasio likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pandek. Nilai current ratio dan cash ratio telah menunjukkan angka positip pada awal beroperasinya proyek, dan pada tahun ke-13 besarnya 118,85. Cash ratio sebesar 118,85 berarti setiap Rp 1 kewajiban jangka pendek dijamin dengan cash dan surat berharga sebesar Rp 118,85. Dan mulai tahun 14 hingga proyek ini berakhir rasio likuiditas besarnya tak terhingga, oleh karena perusahaan inti tidak lagi menanggung kewajiban jangka pendek.
Nilai fixed asset to long term liabilities ratio adalah tidak terhingga selama umur ekonomis proyek, karena perusahaan inti tidak menanggung beban hutang jangka panjang. Sedangkan, nilai equity to total asset ratio nilai nya positip pada tahun ke-8 hingga akhir proyek berkisar antara 0,25 – 1. Informasi tersebut menunjukkan bahwa perusahaan inti cukup solven/ laverage. Tapi perlu diingat, bahwa bila sumbangan (modal) pemilik tidak sampai 50 % dari seluruh aktiva bersih perusahaan, maka perusahaan ini mengalami masalah solvensi, dan sulit untuk memperbesar pinjaman apabila diperlukan.
Rasio efisiensi perusahaan dengan salah satu ukurannya adalah total asset turn over (TATO) juga tampak normal dan nilainya berkisar antara 0,10 – 0,73 sejak proyek ini mulai beroperasi hingga berakhir. Nilai TATO sebesar 0,73 berarti dari seluruh aktiva yang dimiliki perusahaan inti mampu menghasilkan pendapatan sebesar 0,73 kalinya.
F. Analisis Sensitivitas
Sensitivity analysis bertujuan untuk melihat apa yang akan terjadi terhadap hasil proyek jika ada sesuatu kesalahan atau peruahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau pun benefitnya (Djamin, Z., 1993). Dalam kaitan ini, proyek perkebunan kelapa sawit (terutama kebun inti), menunjukkan kepekaan yang tinggi bila di lihat dari nilai IRR yang sedikit lebih besar jika dibandingkan dengan social discount rate 18 %.
Pada IRR yang sedikit lebih besar atau hampir sama dengan social discount rate (18 %), bila terjadi pembengkakan investasi sedikit saja, atau terjadi peningkatan pajak ekspor sedikit saja, atau pun di luar dugaan terjadi penurunan harga output sedikit saja dari Rp1.312,5/kg CPO, maka mengakibatkan proyek ini bukanlah suatu competitive investment. Maka, salah satu usaha
yang bisa dilakukan oleh pemrakarsa proyek adalah berusaha untuk melobi pihak pemberi pinjaman agar social discount rate bisa lebih rendah dari 18 % dan melobi pihak pemerintah agar proyek yang peka ini dapat memperoleh keringanan berupa subsidi pajak ekspor dengan mempertimbangkan social benefit dari proyek ini.
G. Manfaat Sosial/Ekonomi
Tidak dapat diabaikan adanya kenyataan bahwa disamping manfaat finansial, setiap proyek juga diharapkan untuk dapat memberikan manfaat sosial (ekonomi) lainnya. Dari proyek ini, maka manfaat ekonomi yang diharapkan adalah: (1) penambahan pendapatan nasional; (2) penambahan devisa, mengingat 70 % CPO merupakan produk ekspor; (3) memperluas kesempatan kerja, karena proyek ini memerlukan tenaga inti dan sekitar 5.650 KK petani plasma atau sekitar 22.600 tenaga kerja dalam keluarga petani, sehingga mampu mengurangi masalah pengaguran di Indonesia (khususnya di Papua); dan (4) menambah pendapatan pajak, terutama pajak impor dari alat dan mesin untuk proyek, pajak ekspor produk yang dihasilkan proyek, pajak pendapatan karyawan dan pajak deviden.
H. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan dalam studi ini, maka dapat disimpulkan bahwa: (1) Rencana pembangunan proyek perkebunan kelapa sawit di Propinsi Papua yang diprakarsai oleh PT. Henrison Inti Persada merupakan rencana investasi yang layak terutama didasarkan atas analisis finansial, di samping didukung pula oleh aspek pemasaran, teknis, manajemen operasional, dan aspek ekonomis (sosial); (2) Analisis rasio keuangan menunjukkan, bahwa ternyata proyek ini cukup profitable, liquid, solvent, dan efficient; dan (3) Rencana proyek perkebunan kelapa sawit di Propinsi Papua ini menunjukan kepekaan (sensitivity) yang tinggi (terutama pada kebun inti) bila dilihat dari nilai IRR sama dengan 18,07 % yang hanya sedikit lebih besar terhadap social discount rate 18 %. Tetapi, pada kebun plasma proyek ini tidak begitu sensitif, karena IRR yang besarnya 22,37 % jauh lebih besar daripada social discount rate yang disarankan sebesar 14 %.
Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka: (1) kepada pemrakarsa proyek disarankan untuk menjalankan investasi pada proyek PIR-Bun ini; (2) kepada organisasi pelaksana pembanguan proyek, agar selalu berhati-hati dalam mengeluarkan biaya investasi dan berusaha menghindari investasi yang tak perlu, guna menjaga kelayakan proyek, mengingat proyek ini (terutama pada kebun inti) cukup sensitif; (3) kepada pemrakarsa proyek disarankan untuk melakukan penyesuaian terhadap produk yang akan dihasilkan, mengingat adanya kecenderungan permintaan pasar dunia yang mulai bergeser dari CPO kepada produk dalam bentuk PPO seperti yang dilakukan Malaysia; dan (4) kepada Pemerintah, disarankan dapat memberikan insentif tingkat diskonto dan pajak khusus untuk proyek PIRBun ini, guna menjaga kelayakan proyek sehingga proyek tersebut dapat memberikan insentif dan benefit yang lebih besar terutama kepada pihak-pihak yang terlibat langsung dalam proyek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar