Minggu, 12 Desember 2010

ALAN R DEMMASSABU 080213042



BISNIS PENDIDIKAN
BAB 1 PENDAHULUAN
Tumbuhnya berbagai bimbingan belajar menjadi satu fenomena menarik dan menjadi catatan tersendiri bagi dunia pendidikan di Indonesia. Ketidakpuasan terhadap kondisi pembelajaran di sekolah diyakini sebagai salah satu penyebab tumbuh suburnya berbagai bimbingan belajar tersebut.
Sekolah yang memiliki otoritas sebagai tempat untuk menyelenggarakan pendidikan sering dipertanyakan perannya. Hal ini adalah salah satu masalah yang ada dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Sebagai alternatif belajar di luar sekolah banyak siswa yang menggantungkan harapannya pada bimbingan belajar untuk mendapatkan materi yang tidak diajarkan di sekolah. Dengan adanya proses penerimaan di PTN melalui ujian tertulis semakin menambah daya tarik siswa terhadap bimbingan belajar.
Seiring dengan itu banyak bermunculan bimbingan belajar untuk merespon tantangan ini. Namun, kenyataannya kondisi ini tidak diiringi dengan kesungguhan penyelenggara bimbingan belajar dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Sscara teoretis tidak bisa disangkal bahwa biaya pendidikan atau penyelengaraan pendidikan sangatlah tinggi. Asumsi ini paling tidak hidup di benak kalangan profesional dan para ahli pendidikan. Semakin tinggi biaya pendidikan, semakin tinggi kualitas pendidikan.
Sepertinya asumsi ini perlu dipertanyakan ulang. Mungkin benar bahwa semakin tinggi biaya pendidikan semakin tinggi pula kualitas pendidikan, akan tetapi sulit dan mahalkah pendirian lembaga pendidikan? Pertanyaan itu pernah terlontar dalam sebuah obrolan sambil lalu yang tiba-tiba menjadi sangat serius. Seorang teman jebolan perguruan tinggi luar negeri menceritakan mahal dan rumitnya penyelenggaraan lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan tinggi. Yang lain mengungkap sejumlah sarat, prasarat, serta sarana yang mesti disediakan, secara teoretis tentunya. Pokoknya penyelenggaraan pendidikan tinggi bukan sesuatu yang bisa dilakukan sambil lalu




BAB 2 ISI

Jakarta - Boneka Horta atau boneka edukasi mulai dikenal sebagai boneka edukasi bagi anak-anak. Bisnis dari boneka horta sangat diminati pasar karena konsepnya yang unik dan mendidik.

Direktur Green Trading Company Ahmad Nashih Abdurrahman sebagai pengembang produk boneka horta menjelaskan, boneka rumput horta adalah suatu media tanam yang dikemas dalam bentuk boneka yang apabila disiram setiap hari pada bagian atas kepalanya akan ditumbuhi rumput atau semacam rambut pada manusia.

Boneka horta bisa menjadi salah satu alternatif mainan baru yang edukatif kreatif dan imajinatif untuk anak-anak. Selain itu, anak-anak dapat belajar mengamati pertumbuhan tanaman sambil bermain.

Permainan ini dimulai ketika anak merendam boneka dengan air dan menyiram kepala boneka setiap hari dan mengamati pertumbuhan rumput setiap hari. Apabila rumput sudah tumbuh terlalu tinggi, maka anak-anak dapat memangkas rumput sesuai dengan gaya dan keinginan anak.

Menurutnya boneka horta dibentuk dari bahan serbuk gergaji, yang dibungkus oleh kain kasa. Didalamnya di masukan pupuk dan bibit rumput. Proses pertumbuhan rumput bisa terjadi pada hari ketiga setelah dilakukan penyiraman setiap hari. Rumput boneka horta bisa bertahan hingga 3 bulan.

Nashih menambahkan saat ini pihaknya telah mengembangkan berbagai produk boneka horta antara horta cup, horta panda, horta kura, horta babi, horta sapi, horta kodok, horta kucing, horta gajah, horta monyet, horta macan, horta kuda dan horta boneka etnik. Meski sayangnya saat ini khusus untuk bibit rumput masih diimpor dari Amerika Serikat (AS).

Kisah awalnya mengembangkan produk boneka horta, dimulai sejak tahun 2004 lalu. Boneka ini diperkenalkan oleh kakak kelasnya Institut Pertanian Bogor (IPB). Produk boneka horta sendiri merupakan hasil kreasi mahasiswa dalam program kreativitas mahasiswa (PKM) di IPB.

"Waktu itu ada dosen yang meminta agar ada boneka yang bisa ditumbuhi tanaman," jelas Nashih kepada detikFinance, Senin (10/5/2010).

Ia menjelaskan sejak dikembangkan beberapa tahun lalu, permintaan terhadap boneka horta sangat tinggi. Saat ini setidak sebanyak 300-400 boneka terjual per hari dengan harga termurah dari Rp 6.500-30.000 per buah.

Pihaknya menjual produk boneka ini melalui gerai khusus di lokasi di Cilandak Town Square Jakarta. Sementara untuk penjualan ritel sudah mencakup seluruh Indonesia dari para mitra.

Pasar dari produk boneka horta umumnya adalah pihak pengeola sekolah sebagai penunjang pelajaran. Boneka horta juga cukup laris untuk acara-acara khusus dengan melayani pesanan khusus.

Meski terlihat menjadi bisnis yang ringan, omset penjualan bisnis ini mencapai Rp 100 juta per bulan. Dengan mampu mengerahkan 35 tenaga kerja para ibu-ibu rumah tangga di kawasan Bogor yang sebelumnya mengganggur.

Dikatakannya selama ini ia melakukan kerjasama dengan berbagai mitra pemasarannya di banyak daerah dengan menerapkan sistem jual putus yaitu menjual produk boneka horta secara tunai.

Namun dalam waktu dekat, ia sedang mengembangkan kemitraan pemasaran dengan menggunakan paket edukasi, yaitu siapapun yang ingin bermitra bisa melakukan kerjasama bagi hasil, asalkan si mitra bisa menyiapkan lokasi edukasi khususnya sekolah-sekolah untuk memperkenalkan boneka horta untuk media edukasi.

"Kita juga membuka paket edukasi, semacam program kurikulum, kita bisa sharing bagi hasil dengan mitra," katanya.

Ia menjelaskan pengembangan sistem kemitraan melalui paket edukasi akan memberikan keuntungan antara pihaknya dengan si mitra. Mengingat konsep boneka horta juga untuk menopang ekonomi yang ramah lingkungan dengan menggunakan bahan-bahan daur ulang.
Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) menilai bisnis yang bersifat “franchise” (waralaba) di Indonesia kurang didukung oleh pemerintah sehingga perkembangan bisnis ini tidak terlalu pesat.
“Asosiasi bisnis waralaba ini sudah berdiri sejak 1991 dan pertama di kawasan ASEAN, namun perkembangan bisnis waralaba di Indonesia kalah dengan negara lain,” kata Ketua AFI, Anang Sukandar, di Semarang, Jumat.
Ia menyebutkan Singapura baru memiliki asosiasi serupa pada tahun 1993, Malaysia dan Filipina pada tahun 1994, sedangkan China baru 1997. Namun, perkembangan bisnis waralaba di empat negara itu lebih pesat dibandingkan dengan Indonesia.
“Pemerintah di negara-negara itu sangat perhatian pada bisnis waralaba, misalnya Malaysia yang memiliki program 100 juta ringgit untuk pengembangan bisnis waralaba dan 100 ribu ringgit untuk setiap pelaku usaha waralaba,” katanya.
Singapura, kata dia, memiliki kebijakan 75 persen dari total biaya produksi dipikul oleh pemerintah sehingga membuat perkembangan bisnis waralaba sangat pesat.
“Kebijakan yang mendukung perkembangan bisnis waralaba seperti itu belum terjadi di Indonesia sebab pemerintah lebih fokus terhadap pertumbuhan dan penguatan ekonomi dari sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),” katanya.
Ia mengakui sektor UMKM memang telah terbukti menjadi soko guru perekonomian nasional di tengah gempuran krisis global, namun bisnis waralaba sebenarnya juga penting, terutama dalam penyediaan lapangan kerja.
“Berdasarkan data AFI tahun 1997, bisnis waralaba ternyata mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 700 ribu orang dan kemungkinan jumlahnya bertambah dari ’multiplayer effect’ usaha yang diwaralabakan,” katanya.
Menurut dia, kurangnya perhatian pemerintah terhadap bisnis waralaba tersebut ditunjukkan dengan upaya edukasi yang selama ini masih relatif kurang. Pemerintah seharusnya memotivasi dan mendorong orang untuk melakukan bisnis itu.
Berkaitan dengan penerapan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA), ia mengaku tidak mengkhawatirkan hal itu memengaruhi perkembangan bisnis waralaba lokal, seiring dengan masuknya waralaba asing.
“Masuknya waralaba asing tidak masalah sebab peluang waralaba lokal melakukan ekspansi ke negara lain juga dimungkinkan. Hal itu membutuhkan campur tangan pemerintah,” katanya.
Anang mengatakan bahwa pihaknya pernah mencoba menjajaki peluang bisnis waralaba Indonesia, seperti kursus bahasa Inggris International Language Program (ILP), Mr. Baso, dan Es Teler 77 ke China.
“Namun, bisnis waralaba Indonesia tersebut sepertinya masih kesulitan menembus pasar China meskipun pasar di negara Tirai Bambu itu sebenarnya tengah berkembang,” kata Anang.


Di tengan pembicaraan yang serius tersebut, tiba-tiba salah seorang teman tertawa terbahak-bahak. Ia bilang bahwa mendirikan lembaga pendidikan itu murah dan mudah. Cukup mempunyai yayasan dan beberapa lokal kelas. Bahkah, bila membangun lokal kelas masih dianggap terlalu mahal dan tidak ada dananya, bisa nebeng (ngontrak, sewa) lokal kelas dari sekolah yang ada. Kurikulum dan tetek bengek konsep sistem pendidikan yang akan didirikan tinggal menjiplak dari lembaga pendidikan yang telah berdiri. Praktis, mudah dan murah! Tidak perlu survei atau studi kelayakan segala macam. Mendirikan TK, sekolah dasar, sekolah menengah maupun perguruan tinggi, sama saja. Perbedaannya tidak seberapa! Urusan kualitas? Siapa yang peduli dengan kualitas, toh orang hanya peduli dengan ijazah! Dari pada ijazah palsu, mendingan ijazah yang asli kalau pun dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang bangunannya ngontrak!

Betulkah sedemikian murahnya mendirikan lembaga pendidikan? Ketika itu obrolan menjadi simpang-siur antara persolan penyelenggaraan lembaga pendidikan dengan bisnis pendidikan. Selama ini, wacana tentang bisnis pendidikan selalu dianggap tabu. Bahkan, tidak lama berselang, demo antibisnis pendidikan, bersamaan dengan itu media massa menyorot tajam persoalan tersebut yang didasarkan pada sejumlah indikasi. Yaitu tingginya biaya pendidikan yang disebabkan pengurangan subsidi pendidikan sebagai konsekuensi dari realisasi otonomi pendidikan.

Kini, dengan diterapkannya kebijakan otonomi pendidikan, yang semakin diperkecil dan akhirnya ditiadakannya dana (subsidi) pendidikan, secara konsekuensional bisnis pendidikan menjadi isu yang mengemuka dengan sendirinya. Dengan kata lain, pergeseran lembaga pendidikan sebagai lembaga sosial non-profit (nirlaba) menjadi lembaga yang mau tidak mau harus mempertimbangkan kemungkinan profit yang lebih besar. Bila tidak, ia akan mati dengan sendirinya, karena tidak bisa membiayai aktivitas pendidikannya. Persoalan ini, pada akhirnya bukan hanya berlaku bagi lembaga pendidikan swasta akan tetapi juga lembaga pendidikan negeri. Atau lebih tepatnya tidak ada lagi lemabaga pendiidkan (sekolah) negeri atau pun swasta.

Bisnis pendidikan, persoalan itu yang kemudian mencuat ke permukaan. Etiskah bicara dan menyelenggarakan bisnis pendidikan dalam keterpurukan bangsa ini. Atau lebih substansial lagi, etiskah bicara dan menyelenggarakan bisnis pendidikan? Atau, apakah aktivitas penyelenggaraan pendidikan layak dianggap sebagai barang jasa yang memiliki nilai ekonomi tinggi?

Bila pendirian lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh yayasan pendidikan dengan tanpa memiliki lembaga usaha yang menopang pembiayaan penyelenggaraan pendidikan tersebut, atau bahkan lembaga pendidikan itu sendirilah yang menjadi penopang dana yayasan tersebut, mana bisa kita menyebut bahwa dasar pendirian lembaga pendidikan bahkan pendirian yayasan tersebut sama sekali bersifat nirlaba, bukan bisnis.

Dengan kata lain, lembaga pendidikan tersebut bukan didirikan dan diselenggarakan sebagai dimensi sosial dari suatu perusahaan besar, melainkan lembaga pendidikan itu merupakan perusahaan itu sendiri. Dengan kata lain, pendirian lembaga pendidikan benar-benar didasarkan pada orientasi bisnis. Lebih tegas lagi, boleh disebutkan bahwa ada kemungkinan pendirian yayasan pendidikan tidak lebih sekadar kedok untuk mendirikan bisnis pendidikan. Kedok etik dan menghindari besarnya pajak yang harus dikeluarkan.

Ratusan ribu lebih lembaga pendidikan di Indonesia, dari mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi, namun berapa persenkah (bila ada) dari lembaga pendidikan itu didirikan sebagai "kerja" yayasan yang ditopang oleh perusahan besar? Katakan seperti funding (yayasan) yang didirikan oleh perusahaan raksasa. Maka wajar kalau pun ada, yayasan pendidikan yang benar-benar murni nirlaba, karena ia tidak memiliki sumber dana yang memadai, lembaga tersebut dengan terpaksa berjalan tertatih-tatih hidup dengan dana yang sangat minim dari SPP, atau sumbangan lain yang tidak tentu dan tidak seberapa.

Yayasan pendidikan seperti ini terlahir dari keprihatinan komunitas kecil yang didorong karena tidak ada atau minimnya sekolah di daerahnya. Atau, keprihatinan terhadap sistem pendidikan nasional yang tergambar dari kurikulumnya, yang meraka anggap terlalu barat dan tidak memanusiakan. Yayasan seperti ini biasanya didirkan oleh komunitas majelis taklim atau pesantren yang berada daerah, atau kota-kota kecil. Bukan bisnis.

Dengan demikian, kesadaran nilai penting dan vitalnya institusi dan sarana pendidikan bukan hanya sekadar disadari oleh masyarakat Indonesia, bahkan mereka ikut serta secara aktif menyelenggarakan lembaga pendidikan, yang kadang tanpa mempertimbangkan kelayakan dan standar "formal" pendidikan yang didirikannya. Hal tersebut bisa dimaklumi, karena pendirian lembaga pendidikan yang mereka lakukan lebih didasarkan pada kesadaran moral belaka, bukan didasarkan pada profesonalisme.

Bila menjamurnya penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan pada orientasi bisnis, apalagi kecenderungan tersebut diperkuat oleh adanya gerakan otonomi lembaga pendidikan di mana setiap lembaga pendidikan (termasuk lembaga pendidikan negeri) dituntut untuk menghidupi dan membiayai diri sendiri, maka bisnis di sektor pendidikan bukan lagi merupakan sesuatu yang mesti dianggap tabu dan tidak etis.

Persoalannya bagaimana kode etik dan prinsip-prinsip bisnis di sektor pendidikan ini dirumuskan, sehingga tidak mengabaikan kualitas pendidikan. Bahkan, bagaimana logika bisnis sektor pendidikan ini dirumuskan di atas prinsip, penyelenggaraan pendidikan dengan biaya serendah-rendahnya dengan kualitas setinggi-tingginya, dan bukan sebaliknya.

Secara umum pengelola lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan negeri yang tidak memiliki pengalaman mencari, mengolah dan mengelola dana secara mandiri, benar-benar kelimpungan. Di satu sisi mereka membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk bisa survive, di sisi lain mereka berhadapan dengan beban etik dan fakta bahwa mereka sama sekali tidak memiliki pengalaman bisnis dan memasarkan lembaga pendidikannya.

Fenomena bisnis di sektor pendidikan pada akhirnya harus dilihat sebagai sebuah kemungkinan dan kesempatan yang positif, baik dari sisi praktis maupun sisi pengembangan khasanah teori-teori dan bidang ilmu pendidikan. Pada sisi praktis, bisnis ini memungkinkan lahirnya lapangan kerja yang profesional, baik pada bidang manajemen pendidikan, ekonomi pendidikan, pemasaran dan advertising dan lain sebagainya, serta akan meningkatkan kemampuan lembaga pendidikan tersebut untuk survive.

Dan secara akademik lahirnya cabang ilmu pengatahuan yang baru, yang berkenaan dengan kepentingan praktis tersebut menjadi mutlak adanya. Dan untuk itu, diperlukan suatu kajian yang spesifik dalam bidang tersebut, dan bukan mustahil untuk didirikannya progran studi yang relevan. Dengan adanya komunitas profesional dalam bidang tersebut, maka lahirnya kecenderungan dan tuntutan bisnis atau wirausaha dalam sektor pendidikan sedikit banyaknya bisa dipertanggungjawabkan secara akademis dan profesional.

Dengan demikian perguruan tinggi dan fakultas pendidikan memungkinkan untuk melebarkan sayapnya ke wilayah yang lebih luas. Bukan hanya berkisar pada persoalan proses, sarana dan metode pendidikan serta persoalan konvensional lainya, akan tetapi juga bisa berbicara pada wilayah yang lebih luas dan menjanjikan. Studi di fakultas atau perguruan tinggi bidang pendidikan bukan hanya sebatas untuk menjadi guru atau ahli dalam bidang pendidikan (dalam pengertian konvensional), akan tetapi juga menjadi ahli ekonomi, bisnis dan manajemen pendidikan yang memiliki peluang dan keahlian untuk membangun suatu industri pendidikan yang memiliki peluang ekonomi yang lebih menjanjikan.

Civitas akademika sebuah lembaga pendidikan yang selama ini sering dipandang sebagai insan pengabdi (komunitas dan masyarakat Umar Bakri) yang dianggap berseberangan dengan kepentingan-kepentingan untuk meningkatkan taraf ekonomi yang layak, bukan mustahil mampu menyejajarkan dengan komunitas wirausahawan (pelaku bisnis). Dengan meningkatnya taraf hidup mereka, "barangkali" bisa diharapkan pengabdian dan profesionalisme Umar Bakri ini meningkat karena mereka bisa lebih concern dengan profesinya, tidak perlu mencari tambahan dari kiri dan kanan. Dalam upaya untuk ikut mendukung program pemerintah yaitu ikut mencerdaskan kehidupan bangsa ada sebagian orang mewujudkannya dengan mendirikan bimbingan belajar. Banyak siswa dengan antusias mengikuti bimbingan belajar terutama bagi mereka yang ingin mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri.
Pada kenyataannya belajar di bimbingan belajar tidak sekedar berupa materi pelajaran semata. Tetapi, juga disampaikan tentang kiat-kiat belajar yang efektif, kiat-kiat belajar di perguruan tinggi, maupun informasi seputar perguruan tinggi.
Pada awalnya bimbingan belajar dibentuk untuk membantu siswa SMA yang baru lulus dalam menghadapi ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Persaingan ketat untuk mendapatkan tempat di perguruan tinggi negeri memaksa para siswa untuk mempersiapkan diri secara ekstra.
Pada masa itu perguruan tinggi negeri menjadi pilihan terbaik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena belum banyak pilihan perguruan tinggi lain dan biaya pendidikan yang relatif lebih terjangkau.
Keterbatasan sistem yang berlaku di sekolah juga ikut memicu tumbuhnya berbagai bimbingan belajar. Kemampuan guru yang terbatas, kurangnya fasilitas belajar yang memadai, serta tuntutan kurikulum yang tidak realistis menyebabkan siswa mencari alternatif lain untuk belajar di luar sekolah. Sekolah juga dianggap tidak mampu menyediakan semua kebutuhan yang diperlukan siswa terlebih lagi kesiapan untuk berebut kursi di PTN yang diidam-idamkan.
Peluang ini yang dilihat oleh pengelola bimbel yang kemudian direspon dengan mendirikan Bimbingan Belajar. Dari segi bisnis hal ini memang terlihat sangat menjanjikan dan menggiurkan. Selain itu segi bisnis ada pula bimbel yang didirikan dengan faktor ideologis dengan keinginan untuk mendekatkan dakwah dengan pelajar.


BAB 3 PENUTUP

Salah satu tolok ukur keberhasilan suatu bimbingan belajar adalah jumlah siswa yang berhasil lulus ke perguruan tinggi negeri. Namun, hasil yang telah dicapai ini masih menyisakan pertanyaan. Seberapa besar peran bimbel membantu siswa lulus dalam SPMB. Ini bisa dilihat dari jumlah siswa  yang telah ikut mulai dari program reguler yang lulus dibanding siswa yang hanya ikut di program intensif.
Menjadikan banyaknya siswa yang lolos ke PTN sebagai tolok ukur keberhasilan suatu bimbingan belajar adalah sesuatu masih perlu dipertanyakan. Bimbingan belajar tidak sepenuhnya berhak mengklaim sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kelulusan siswa ke PTN.
Hal ini tampak dari kehadiran siswa di kelas bimbingan belajar yang tidak menentu. Selain itu perlu dilihat juga apakah mereka yang lulus merupakan siswa yang ikut semenjak program regular atau hanya ikut di program intensif saja.
Kalau tolok ukur keberhasilan dilihat dari banyaknya siswa yang lolos ke PTN saja mengapa bimbingan belajar tidak fokus dengan menyelenggarakan program persiapan masuk PTN (program intensif) saja sehingga lebih kelihatan hasilnya. Jadi penyelenggara bimbingan belajar tidak dapat menggunakan keberhasilan siswa masuk ke PTN sebagai ukuran efektivitas belajar di bimbingan belajar tersebut.
Dalam hal bimbel yang berlatar belakang ideologi tidak dapat dipungkir bahwa faktor ideologi menjadi salah satu faktor penting dalam pertumbuhan dan perkembangan bimbel tersebut. Jaringan yang terbangun melalui rohis sangat penting khususnya di masa awal berdirinya bimbel tersebut untuk memperkuat posisinya.
Namun, pada akhirnya kekuatan jaringan itu tidak cukup memadai untuk menopang bimbel tanpa adanya profesionalisme dan pembinaan sumber daya manusia yang kuat di bimbel. Selain itu, kekuatan jaringan justru dapat menjadi bumerang buat bimbel karena bimbel tidak dapat melihat secara riil posisi bimbel yang sebenarnya di mata konsumen dalam hal ini siswa.
Konsumen yang terbentuk melalui jaringan tidak dapat menilai secara objektif terhadap bimbel. Jadi, apakah bimbel tersebut memang benar-benar bimbingan belajar yang layak diikuti (dan perlu) masih menjadi pertanyaan besar.
Merupakan suatu hal yang menggembirakan bila melihat perkembangan bimbel yang amat pesat dan menjelma menjadi bisnis yang berkembang di Indonesia. Namun, pencapaian ini akan menjadi sia-sia apabila tidak disertai dengan evaluasi dan cara pandang yang baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar