Minggu, 12 Desember 2010

FRIADI TIMON 060213063


BISNIS INFORMASI MENGGUNAKAN PAPAN REKLAME









JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2010
KATA PENGANTAR
          Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul:
BISNIS INFORMASI MENGGUNAKAN PAPAN REKLAME
            Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
            Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, tim penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
            Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Manado,24 November 2010
Penulis
Bisnis Papan Reklame
Indonesia adalah sebuah negeri spanduk dan baliho. Itu barangkali sudah kita anggap lazim karena sudah berlangsung lama, sehingga mata kita terbiasa menatap jalanan yang hiruk-pikuk oleh spanduk dan baliho warna-warni. Jika dibanndingkan dengan suasana di negara lain — tak usah jauh-jauh, Malaysia atau Singapura misalnya — jalan raya kita memang sangatlah meriah. Baliho iklan, papan pengumuman, spanduk penuh jargon, dan semacamnya, adalah penghias yang membuat jalan raya kita tampak penuh sesak.
spanduk-spanduk itu kerap mengundang senyum. Misalnya, teman saya tiap kali mudik dan keluar dari Bandara Juanda di Surabaya,sering melihat spanduk besar milik Polda Jatim, berisikan seruan (atau komitmen?) untuk memerangi narkoba. Spanduk semacam ini rada menggelikan,komentarnya.. sebab siapapun tahu bahwa narkoba tak akan bisa dibasmi dengan spanduk, melainkan dengan membabat para pengedar yang sebagian dibekingi oleh aparat keamanan sendiri.
 
Belakangan di banyak daerah, kemeriahan jalan raya itu masih ditambah dengan baliho besar berpampangkan foto-foto para pejabat politik. teknologi digital dan percetakan telah sangat memungkinkan setiap orang untuk membuat baliho dengan foto diri berukuran cukup besar, dengan biaya yang meski cukup mahal namun bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki cukup anggaran. Para pejabat daerah (bupati, gubernur, sekda), atau mereka yang sedang mengincar posisi-posisi publik atau kepala daerah dalam pilkada, berlomba-lomba unjuk diri lewat baliho berpampangkan foto mereka, disertai kalimat-kalimat jargonis yang — seperti biasa — kerap minim makna.
tujuan utama baliho semacam ini sangat jelas: mengenalkan para pejabat publik, atau mereka yang mengincar jabatan publik, kepada masyarakat yang telah atau akan menjadi target konstituen mereka. oleh karena itu, terpampangnya wajah para tokoh ini jauh lebih penting ketimbang pesan ideologis atau program untuk disampaikan pada masyarakat.
apa sajakah implikasi fenomena ini? Ada beberapa hal. Pertama, membanjirnya baliho dengan foto besar para tokoh ini sangat mungkin mengindikasikan masih jauhnya langkah untuk membangun sistem politik yang terstruktur.Pola komunikasi politik yang dibangun lewat baliho-baliho bergambar itu sangat jelas memampangkan politik yang masih belum beranjak dari mekanisme personal, dimana pribadi seorang tokoh lebih dipentingkan ketimbang visi dan programnya.
Baliho-baliho ini tanpa ragu berpijak pada misi utama untuk menonjolkan bentuk fisik seorang tokoh, serta penjejalan sosok sang tokoh ke dalam memori masyarakat luas. Tentu saja, para politisi ini belajar dari pengalaman pemilu, pilpres dan pilkada sebelumnya, dimana kerapkali kebagusan dan kecantikan tampang seorang tokoh jauh lebih menentukan kemenangannya ketimbang faktor-faktor lain. Dengan kata lain, baliho-baliho narsistik ini mengindikasikan masih belum matangnya perilaku politik para kandidat dan para pemilih.

Kedua, baliho-baliho jual tampang itu menambah lagi variabel yang menyebabkan mahalnya prosedur demokrasi di negeri tercinta. Prosedur-prosedur demokrasi yang kita pilih semenjak tahun 1998 memang membuka peluang partisipasi politik yang kian luas dan transparan. Sayangnya, prosedur-prosedur tersebut juga berbiaya sangat tinggi.

Pilpres secara langsung misalnya, jelas-jelas menguras anggaran negara secara luar biasa signifkan. Pilkada langsung juga demikian halnya. Dalam satu pemilihan bupati/walikota oleh DPRD misalnya, sebuah kabupaten mengeluarkan biaya sekian ratus juta rupiah. Tentu saja ini biaya formal yang belum termasuk anggaran para calon untuk urusan money politics. Biaya formal ini telah membengkak hingga puluhan kali lipat ketika rakyat memilih bupati/walikotanya secara langsung. Kita tentu sangat paham bahwa biaya pemilihan gubernur secara langsung di propinsi seperti Jabar dan Jatim menelan biaya ratusan milyar rupiah. Jika harus terjadi pemilihan putaran kedua seperti di Jatim, biayanya juga kian membengkak.

Sekali lagi, itu baru biaya formal yang terkait dengan logistik pilkada langsung. Biaya lain yang juga sangat besar terkait dengan upaya peraupan suara oleh para politisi dan calon politisi. Tingginya biaya kampanye mereka, baik yang resmi maupun yang tidak resmi, bisa mengundang decak heran yang tak ada habisnya.
salah satu yang menyumbang pada pembengkakan biaya peraupan suara itu adalah narsisme para politisi dan tokoh yang kini berlomba-lomba memasang tampang di baliho-baliho di jalan raya. Akan kian runyam kalau kita amati bahwa sangat boleh jadi, sebagian biaya baliho itu dibebankan pada anggaran negara. Para politisi yang tengah menjabat kerap muncul di balik unjuk prestasi pembangunan daerah, yang ditampilkan dengan foto mereka secara sangat dominan. Anggaran dinas telah digunakan untuk ditumpangi dengan tujuan-tujuan narsistik para politisi.

Kini, bukankah sudah waktunya bagi kita untuk memikirkan prosedur demokrasi yang lebih ramah anggaran?





Papan Reklame Bertenaga Surya

Pernahkah anda berpikir dibalik gemerlap papan reklame yang bertebaran di seantero jalan raya, berapakah konsumsi listriknya? Konsumsi listrik satu papan reklame yang berdurasi 6 jam per hari, rata-rata membutuhkan energi listrik sebanyak 192.000 KWh, sebuah skala yang mampu menyalakan satu desa kecil! Jika kita sandingkan dengan fakta bahwa ribuan desa di negeri tercinta ini masih belum “merdeka” dari cengkeraman gelap, tentunya ini jumlah yang luar biasa bukan? Namun, dibalik itu semua, ternyata papan reklame selain konsumen listrik yang rakus juga berpotensi menjadi pembangkit listrik. Lho, bagaimana bisa?
Belum lama, Sharp Indonesia meresmikan papan reklame bertenaga surya pertamanya di Indonesia. Jika anda sempat lewat di Jl. MH Thamrin, tengoklah papan reklame yang menjulang persis di depan gedung Sarinah. Ini merupakan papan reklame pertama yang memenuhi kebutuhan listriknya dari tenaga surya dengan memanfaatkan teknologi Photo Volatic yang dipasang di atasnya.

“Kami berharap dengan mengganti energi listrik dengan energi matahari pada papan reklame, kami mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada lingkungan,” demikian yang dikatakan oleh Ryunosuke Kitagawa, Brand Strategy Group Director PT SHARP Electronics Indonesia.

Proses pengerjaan proyek ini memakan waktu 3 bulan, dimulai pada Juli 2009 yaitu proses perencanaan dan perancangan. Dilanjutkan pada Agustus 2009 dengan proses rekonstruksi papan reklame, diikuti pemasangan panel surya, dan uji coba sistem pengoperasian papan reklame. Kemudian pada bulan September 2009, papan reklame SHARP yang menggunakan energi surya sebagai sumber listrik sudah mulai dioperasikan.

“Kedepannya SHARP berharap seluruh papan reklame di Indonesia menggunakan sistem panel surya sebagai pengganti energi listrik untuk menghemat energi,” kata Presiden Direktur PT SHARP Electronics Indonesia, Fumihiro Irie.
Hal ini tentu sangat mendukung Program PLTS Perkotaan yang telah digulirkan Pemerintah sejak tahun 2003. Program tersebut diluncurkan pada tanggal 28 Agustus 2003 oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BPPT dan Menteri Lingkungan Hidup. Tujuannya adalah untuk mengurangi ketergantungan listrik dari penyedia publik yang sampai saat ini masih disubsidi dan pasokannya masih terbatas, terutama pada saat beban puncak atau terjadi gangguan.
Wilayah perkotaan merupakan target potensial bagi pengembangan PLTS mengingat semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan energi bersih dan kemampuan ekonomi masyarakat kota yang memungkinkan penyediaan listrik secara mandiri dengan pemanfaatan energi surya. Sejak diluncurkan Program PLTS Perkotaan, beberapa proyek percontohan telah dikembangkan baik oleh Pemerintah, Perguruan Tinggi maupun Swasta. Namun program ini masih belum berkembang luas seperti yang diharapkan. Beberapa aplikasi PLTS untuk gedung perkantoran dapat dijumpai di Gedung DJLPE (40 kWp), BPPT (10 kWp), Depdiknas (2 kWp), German International School (11,2 kWp), dan di Gedung Departemen Teknik Fisika ITB (1kWp). Tentu kini daftarnya bertambah satu lagi.
"Implementasi program PLTS memiliki banyak tantangan, tetapi kita harus optimis", ujar Ir. Kosasih, Kepala Subdit Usaha Energi Baru Terbarukan Direktorat Energi Terbarukan dan Konservasi Energi, sebagaimana disampaikan di sela-sela Workshop Percepatan Pengembangan PLTS untuk Perkotaan yang digelar di Hotel Maharani (15/10). Lebih lanjut Kosasih menyatakan bahwa pertumbuhan pasar PV sedang mengalami booming dan pada tahun 2008 pasar PV global telah tumbuh 110% dibandingkan tahun 2007. Untuk dalam negeri potensi demand PLTS perkotaan diperkirakan sekurang-kurangnya 34 MWp per tahun, dengan sasaran utama instansi pemerintah, pelanggan PLN kategori R3, I3, dan B3, serta penerangan jalan umum.
Secara global, sejak Juli 2008 Sharp telah meluncurkan kampanye besar-besaran di Amerika Serikat memposisikan diri salah satunya fokus pada indutri energi surya.  Visi SHARP menuju tahun 2012 adalah berkontribusi kepada dunia melalui bisnis yang sadar lingkungan dan kesehatan dengan memfokuskan diri pada produk-produk penghasil energi dan hemat energi. Sebuah tagline kampanye yang di desain oleh perusahaan iklan Lowe Worldwide adalah “Change Your Power, Change Your Planet.”

Sharp tidak sendirian dalam memanfaatkan papan reklame untuk menghasilkan listrik. Jauh sebelumnya perusahaan di Canada dan Africa telah lama menerapkannya. Implementasi di Indonesia yang diinisiasi oleh Sharp tergolong tidak terlambat. Di Amerika Serikat sekalipun, pemanfaatan papan reklame sebagai pembangkit tenaga surya (PLTS) baru di mulai pada kisaran tahun 2007.

Pacific Gas and Electric (PG&E), sebuah perusahaan produsen listrik di California telah memulai memanen listrik dari papan reklame ini. PLTS Papan Reklame pertamanya di bangun di 1000 Brannan Street in San Francisco mrnggunakan 20 panel surya yang mampu menghasilkan listrik antara 2,5 – 3,4 kW listrik dan terinterkoneksi dengan jaringan.

Dengan menggunakan teknologi Light Emitting Diode (LED) untuk menerangi papan reklamenya, PLTS Papan Reklame PG&E mampu menghasilkan listrik melebihi jumlah yang diperlukannya untuk operasi dan menjual kelebihannya ke jaringan.
 This isn't a billboard, It's a power plant
 PLTS Papan Reklame milik PG&E - livescience
"Listrik yang dihasilkan dari PLTS Papan Reklame ini melebihi kebutuhan operasi setiap harinya dari papan reklame ini”, terang Jennifer Zelwer, juru bicara PG&E. "Ini bukan “papan reklame” ini adalah “pembangkit listrik”, lanjutnya.

Papan reklame tersebut merupakan bagian dari “kampanye hijau” perusahaan yang mengususng tema “We Can Do This.” PG&E memiliki lebih dari 18,000 pelanggan yang  tercatat sebagai “solar interconnections”, atau pelanggan yang juga memasang panel surya yang dihubungkan dengan jaringan PG&E. Jumlah ini setara dengan 153 MW pembangkitan.

Perusahaan lainnya adalah Lamar Advertising Co., perusahaan periklanan luar ruang terbesar di Amerika Serikat yang juga merupakan anak perusahaan dari Southern Company subsidiary, Gulf Power Co., yang  mensuplai 430,000 pelanggan di Northwest Florida.

Lamar, yang memiliki sekitar 1.000 papan reklame, telah memasang panel surya di empat papan reklame terbesarnya yang berlokasi di Escambia County untuk menguji kelayakan papan reklame sebagai pembangkit listrik.

Dengan demikian, Lamar kini memasuki bisnis pembangkitan dan penjualan listrik. PLTS Papan Reklame Lamar akan dihubungkan langsung dengan jaringan. Pada siang hari, listrik yang dihasilkan dijual ke jaringan dan baru pada malam  hari Lamar membeli listrik dari jaringan untuk operasional Papan Reklame.

Model ini merubah model sebelumnya yang menggunakan baterai raksasa untuk menyimpan listrik yang dihasilkan untuk digunakan bagi operasional papan reklame pada malam hari.

Menurut John Hutchinson, juru bicara Gulf Power, model ini kemungkinan akan digunakan oleh Florida’s Public Service Commission, yang saat ini fokus pada energi terbarukan berkat inisiatif program yang dikeluarkan oleh Presiden Barack Obama.

Meskipun saat ini feed-in tariff is masih cukup rendah – hanya 4 cents per kWh (dibandingkan 9 cents yang harus dibayar Lamar untuk pembelian listrik dari jaringan) – peluang perubahan harga baik secara nasional maupun di negara bagian lain akan meningkat seiring penerapan insentif bagi energi terbarukan.

Saat ini , papan reklame digital milik Lamar menggunakan teknologi kontrol komputer yang mentranmisikan cahaya melalui LED. Dengan teknologi baru yang dikembangkan perusahaan berbasis di Israel - Magink, kombinasi PLTS dengan teknologi light-reflecting digital light, papan reklame Lamar akan dapat memproduksi listrik yang kelebihannya cukup ekonomis untuk dapat dijual ke jaringan.

Seandainya trend ini semakin berkembang, masyarakat mungkin tidak lagi mengkritisi papan reklame hanya sebagai si boros listrik yang menjadi penghalang pandangan dan merusak keindahan kota. Menarik bukan?

Ancaman di Balik Papan Reklame

http://www.koran-jakarta.com/gambarberita/2010-03-10/Rona/Berita%20Utama%20Rona/GambarBeritaKoranJakarta20100309195809.jpgRabu, 10 Maret 2010
Keberadaan papan reklame raksasa tidak hanya mengganggu kenyamanan, tetapi juga membuat waswas kala hujan dan angin kencang menerjang. Karena itu, pemerintah tidak boleh sembarangan mengeluarkan izin pendirian papan reklame.

Peristiwa robohnya billboard raksasa di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan, akhir Februari, masih segar dalam ingatan.

Kala itu, Minggu (28/2) siang, Jakarta dan kawasan lain di sekitarnya di landa hujan deras yang disertai angin kencang.

Hujan tersebut memang berlangsung tidak terlalu lama, namun dampaknya cukup dahsyat. Bayangkan, gara-gara hujan itu, tiga billboard roboh dan banyak pohon bertumbangan.

Akibat insi den tersebut, empat warga terluka. Papan reklame seberat sepuluh ton tersebut roboh menimpa sejumlah kendaraan umum dan pribadi.

Karena ukurannya yang begitu besar, petugas pun kesulitan untuk melakukan evakuasi. Pasalnya, material papan reklame tersebut terbuat dari besi sehingga membutuhkan alat berat untuk memotong dan memindahkannya.

Selama proses pemindahan, lanjur yang menghubungkan Tangerang Selatan dan Jakarta itu pun macet total.

Kisah tersebut seakan kembali membuka memori kita, bahwa roboh nya papan reklame raksasa ju ga pernah terjadi sebelumnya.

Penyebabnya sama, akibat hantam an angin kencang saat hujan de ras. Meski begitu, sederet peristi wa tersebut tak menyurutkan langkah sejumlah perusahaan untuk membangun billboard di sejumlah titik.

Pemerintah daerah (pemda) setempat juga dengan senang hati mengeluarkan izin pembangunan serta pengoperasiannya, mengingat pajak yang didapat juga cukup menggiurkan. Dengan menjamurnya papan reklame raksasa, otomatis pendapatan asli daerah (PAD) meningkat berkali lipat.

Namun, jika kita beralih ke perspektif lain, yakni masalah tata kota, menjamurnya billboard membuat wajah kota semakin semrawut.

Padahal, fungsi kota bukan hanya menjadi pusat perdagangan dan jasa, juga memiliki fungsi permukiman dan relaksasi, alami maupun buatan.

Menurut Suryono Herlambang, pengamat tata kota dari Universitas Tarumanegara, Jakarta, semakin banyaknya billboard membuat wajah kota kian berantakan.

“Papan reklame, terutama yang berukuran belasan meter, sangat mengganggu keindahan gedung, terutama di malam hari.

Belum lagi ruang terbuka hijau yang semakin tergusur. Masyarakat yang ingin menikmati keindahan kota, taman, atau gedung-gedung dipaksa untuk melihat iklan.

Jika dilihat secara visual, sangat merusak wajah kota,” urai Suryono. Begitu pula dengan sejumlah baliho yang dipasang saling berdekatan.

Papan iklan yang repetitif dan mencolok, tambah Suryono, membuat konsentrasi pengguna jalan terpecah, sehingga tak hanya membahayakan keselamatan dirinya, tetapi juga pengguna jalan lainnya.

Masalah Klasik Ambruknya sejumlah papan reklame memang bukan hal baru di negeri ini. Hujan deras serta angin kencang menjadi kambing hitam.

Padahal, jika ditelisik kembali, faktor lain juga tak kalah penting, misalnya “kenakalan” para pengusaha biro reklame serta lemah nya pengawasan pemda setempat.

Padahal, jika melihat aturannya, sudah cukup mumpuni menjaga papan reklame raksasa itu tetap berdiri kokoh.

Misalnya terkait fondasi konstruksi tiang reklame yang harus sepertiga dari tiang reklame yang dipasang.

Kenyataannya, tidak sedikit reklame yang dipasang tidak sesuai dengan ketentuan. Pelanggaran ini tentu sangat mem bahayakan karena menjadikan konstruksi reklame rawan ro boh. Biasanya, masalah ini baru di ketahui setelah reklame itu ambruk.

Dan menyikapi robohnya billboard di Ciputat, Koordinator Wilayah I Penanganan Reklame Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Kota Tangerang Selatan, Omay Komarudin, menya takan akan menindak tegas sejumlah per usahaan billboard dan reklame yang tidak mengikuti aturan main.

Untuk standardisasi pemasangan konstruksi papan reklame, ung kap nya, di atas ukuran standar 16 meter atau ukuran raksasa, 6 x 12 meter, tiang pemancang papan rek la me harus ditanam pada keda lam an minimal empat meter di dalam tanah.

Selain itu, tambah Omay, di sisi kanan kiri tiang pemancang papan reklame tersebut harus ditunjang dengan tiang penyangga yang kedalamannya juga harus empat meter di dalam tanah.

“Kami mendapati masih banyak yang tidak sesuai dengan standar. Untuk tahun 2009 konstruksi papan reklame sudah disesuaikan dengan kondisi alam saat itu.

Sedangkan untuk 2010, akan kami sesuaikan lagi dengan kondisi cuaca yang tidak menentu,” papar Omay.

Selain itu, lemahnya pengawasan juga ikut memicu terjadi pelanggaran, karena banyak bermunculan reklame liar yang tidak me miliki izin atau reklame dengan izin kedaluwarsa.

Saat reklame su dah berdiri pun banyak yang lepas dari pengawasan. Tenaga peng awas yang tidak memadai serta dana pembongkaran yang be sar acap kali menjadi alasan.

Kerap Kecolongan Meski demikian, menurut Syahrudin, Kepala Seksi Pengaduan dan Sanksi Penataan dan Pengawasan Bangunan (P2B) Provinsi DKI Jakarta, berbagai pemeriksaan rutin berdasarkan izin berlakunya papan reklame kerap dilakukan.

“Jika reklame-reklame tersebut sudah tidak mengantongi izin, akan dilakukan tindakan penyegelan,” ungkapnya. Begitu pula dengan sejumlah papan reklame yang tidak sesuai izin, tambah Syahrudin, akan diberikan peringatan.

“Setelah tujuh hari dari proses penyegelan, pemilik reklame harus sudah membongkarnya. Jika tidak akan dibongkar secara paksa.”

Prosedur pendirian papan reklame yang harus melalui beberapa pintu, semestinya membuat keberadaannya sesuai dengan peraturan dan tidak membahayakan sekitarnya.

Menurut Syahrudin, proses standar diawali dengan permohon an pendirian yang diajukan ke suku dinas setempat. Setelah melalui Dinas Tata Ruang, digulirkan ke P2B untuk menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

“Segala hal yang berhubungan dengan konstruksi masuk dalam pengawasan P2B, sedangkan untuk billboard-nya sendiri berurusan dengan dispenda,” papar dia.

Namun, pada dasarnya, menurut Kepala Bidang Pemanfaatan Ruang Kota Dinas Tata Ruang Pemprov DKI Jakarta, Martantiningsih, kesemrawutan reklame dan reklame yang rawan ambruk juga disebabkan penyelenggara sering bertindak agresif sebelum izin penetapannya turun.

Biasanya kasus semacam itu baru diketahui ketika ada pengaduan dari warga di sekitar atau penyelenggara reklame lainnya.

“Kami sering kecolongan saat berkas-berkas masih dikaji tim Pemprov DKI Jakarta, ternyata tiang-tiang papan reklame sudah didirikan sebelum izin dikantongi,” ucap Martantiningsih.

“Sedangkan sumber daya manusia di Pemprov DKI Jakarta yang bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap keberadaan papan reklame jumlahnya sangat terbatas,” tambahnya.

Bagaimanapun, keberadaan papan reklame memang sudah menjadi bagian dari wajah in dustrialisasi, terutama di kota-kota besar.

Keberadaannya berakibat lang sung dalam kehidupan sehari- hari warga. Dan warga pula yang harus menanggung pengalaman tak menyenangkan karena bentuk serta penempatan reklame yang tidak proporsional. Begitu pula ketika ada sebuah papan reklame raksasa yang tumbang, nyawa menjadi ancaman.
mer/L-3


Tidak ada komentar:

Posting Komentar