Senin, 29 November 2010

Billy R. Rompas - 070213053 - ARTIKEL BISNIS KETENAGALISTRIKAN

A. Pasar Ketenagalistrikan
Struktur Pasar dan Operasi
Sebelum suatu pasar ketenagalistrikan dideregulasi, kepemilikan dan pengusahaan sistem tenaga listrik (STL) dilakukan oleh badan usaha yang terintegrasi secara vertikal dari pembangkitan, transmisi sampai distribusi dikuasai di satu tangan. Dalam hal ini, PLN adalah badan usaha ini, yang memegang kuasa usaha ketenagalistrikan di Indonesia. Di dalam BUMN ini terdapat bagian yang berfungsi sebagai pusat kendali sistem ketenagalistrikan yang mengatur sistem manajemen energi (SME), dalam hal ini adalah P3B untuk sistem Jawa Madura Bali. SME ini berbasis SCADA (Supervisory Control and Data Acquisition) yang mempunyai fasilitas
2
perencanaan dan analisis fungsi-fungsi operasi ini bertujuan mengoptimumkan sistem pembangkitan dan penyaluran energi listrik.
Fungsi-fungsi SME: Prediksi beban dalam jangka pendek Menetapkan komitmen unit Dispatch (perintah) pengoperasian pembangkit listrik Mengendalikan daya reaktif Memperkirakan kondisi sistem Mengendalikan pembangkit listrik secara otomatis Pencegahan dan pengendalian keamanan kondisi darurat
Pusat kendali ini juga mengatur aliran daya antar daerah untuk meningkatkan keamanan sistem dan cadangannya. Selain pusat kendali, biasanya juga ada badan yang menetapkan kriteria keandalan dan perencanaan STL. Namun karena belum dideregulasi, lagi-lagi kriteria ini ditetapkan oleh PLN sendiri.
Ciri-ciri khas STL yang masih dikuasai oleh badan usaha yang terintegrasi secara vertikal: Monopoli (secara alami terjadi karena sifat investasinya yang sangat besar), tapi diatur oleh UU Mengandalkan prinsip “biaya termurah” (least cost) untuk perencanaan dan operasi Biaya ini meliputi pembangkitan, transmisi dan distribusi sampai dengan titik sambung di konsumen Tarif listrik yang ditetapkan atau diatur ini terdiri dari biaya produksi ditambah laba yang ditetapkan pemerintah, namun sering kali terjadi distorsi harga akibat intervensi politik. Aturan rate of return tarif listrik ini bertujuan untuk memastikan produsen dapat menutup semua biaya produksinya
Contoh tarif yang terdistorsi ini yang paling nyata terjadi di Indonesia, pada jaman Orba, tarif listrik disubsidi sangat besar sehingga rakyat merasa menikmati listrik “murah”. Lebih

parahnya lagi, beberapa pemerintahan setelahnya juga tidak berani menaikkan tarif listrik jika menjelang Pemilu, meski ada argumen naiknya tarif akan menimbulkan biaya baru, social costs berupa gejolak di masyarakat dan tentunya incumbent yang tidak populer. Murahnya tarif ini sesungguhnya semu, karena sebenarnya negara lah yang harus membayar subsidinya, yang notabene negara ini dibiayai rakyat dari pajak. Seandainya negara tidak dibebani subsidi listrik, anggaran yang ada dapat dipakai untuk hal-hal lain, misalnya untuk pendidikan, pengembangan usaha kecil dsb.
Hal lain yang sangat merugikan adalah mendidik bangsa ini untuk menganggap listrik sebagai produk masal yang murah sehingga bisa dipakai seenaknya. Akibatnya apa? Kita menjadi bangsa yang boros energi listrik, dari dunia industri yang boros energi dengan pemakaian alat-alat produksi yang rendah efisiensi termalnya sampai dengan budaya pemakaian listrik di rumah tangga-rumah tangga di Indonesia. Jika kita melihat rumah tangga di negara maju yang tarif listriknya tidak terdistorsi, kita tidak akan melihat lampu di dalam rumah yang terang benderang, kecuali orang yang benar-benar kaya, ketika para penghuninya sudah pergi tidur atau tidak menggunakannya lagi. Beda dengan di Indonesia, jangankan di malam hari, kadang di siang bolong, bohlam lampu nyala kadang juga tidak dimatikan.
Isu-isu lainnya dalam sistem yang terintegrasi secara vertikal ini adalah: Konsumen tidak punya pilihan Ketidakefisienan ekonomi dalam jangka pendek akibat tarif listrik berdasarkan harga rata-rata seluruh pembangkit listrik. Lain halnya dalam pasar listrik yang telah direstrukturisasi, konsumen mendapatkan tarif listrik berdasarkan biaya marginal atau harga listrik dari pembangkit listrik terakhir yang terjual. Insentif yang kurang kuat untuk mengurangi harga Beban finansial berat bagi pemerintah (subsidi pemerintah untuk BBM PLN sebesar Rp 37.3 triliun pada tahun 2007)
Sebagai ilustrasi, saat ini harga listrik PLN pada dasarnya adalah harga rata-rata produksi seluruh pembangkitnya (dikenal sebagai Biaya Pokok Produksi), dari yang paling murah, pembangkit hidro sampai yang sangat mahal yang berbasiskan BBM (bahan bakar minyak)
4
seperti PLTU minyak, PLTD, PLTG minyak. Akibatnya dapat ditebak BPP PLN lebih mahal dari harga listrik di banyak negara lain, seperti yang sering dikeluhkan oleh lembaga konsumen. Sebagai contoh RRP(regional retail price) suatu daerah di Australia (pasar listrik deregulasi) berkisar di antara $15 – $30/MWh atau sekitar Rp120 – Rp300/kWh. Menurut berita di web.bisnis.com harga BPP PLN di wilayah Jawa-Bali saat ini tahun 2008 sekitar Rp831 – Rp936 per kWh untuk tegangan rendah, Rp745- Rp840 untuk tegangan menengah dan Rp704 – Rp794 per kWh untuk tegangan tinggi.
Dalam pasar yang telah direstrukturisasi, konsumen hanya membayar harga listrik sebesar harga listrik dari pembangkit listrik yang listriknya terakhir terjual (lihat gambar). Listrik dalam pasar ini dibeli dari pembangkit yang menawarkan harga termurah. Misal daya terpasang di suatu daerah 3000 MW terdiri dari pembangkit hidro, PLTU batubara dan PLTG minyak. Masing-masing pembangkit menawarkan harga atau bids dengan harga seperti pada gambar. Maka jika beban atau load pada suatu saat mencapai 2000 MW maka konsumen hanya perlu membayar Rp 500/kWh.
BPP yang mahal ini juga konsekuensi logis dari struktur jenis pembangkit listrik di Indonesia yang mempunyai pembangkit listrik berbasis BBM terlalu besar porsinya. Proyek 10000 MW dengan mendirikan pembangkit berbahan bakar batubara, yang ber-BPP relatif rendah, pada dasarnya adalah solusi jangka pendek juga. Solusi yang paling tepat adalah penggunaan energi nuklir yang relatif murah dan ramah lingkungan.
Negara-negara yang belum memiliki PLTN, karena kontroversinya, seperti Australia, yang merasa mempunyai cadangan batubara yang berlimpah, lambat laun juga mengalami masalah energi. Belum lagi dengan tuntutan pengurangan emisi gas buang penyebab efek rumah kaca atau protokol Kyoto, seperti yang kita tahu coal-fired power plant a.k.a. PLTU batubara ini adalah salah sumber sumber pencemar udara terbesar. Australia adalah negara yang terakhir meratifikasinya, menjadikan Amerika (US) menjadi satu-satunya negara yang belum menandatanganinya. Dalam KTT Perubahan Iklim di Bali, Indonesia, isu ini telah sangat kuat, termasuk pengenaan carbon tax sebagai pengganti carbon trading bagi negara-negara yang punya kontribusi besar sebagai pencemar udara.
5
Indonesia menawarkan diri sebagai negara penerima carbon trading tersebut dengan alasan uang yang diterima bisa dipakai untuk menjaga dan merehabilitasi hutan hujan tropis yang merupakan paru-paru dunia. Alasan yang sebenarnya masuk akal, cuma membuat kita malu sebagai bangsa, menegaskan mental bangsa peminta-minta. Alasan lain untuk tidak setuju carbon trading adalah dengan tetap menyetujuinya, itu sama artinya dengan menyetujui membiarkan negara-negara maju tetap “mengekspor” polusi udara dan kita lah yang harus membersihkannya dengan paru-paru kita.
Bagaimana dengan reputasi kita dalam menjaga hutan? Dengan tidak mengurangi hormat kita kepada aparat pemerintah yang banyak yang masih memiliki integritas dalam menjaga hutan-hutan kita, Walhi memilih untuk tidak percaya dengan ingin menyewa hutan produksi dan hutan lindung. Itu lebih baik dari pada harus jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan pertambangan, meski harus diakui illegal logging mulai banyak ditindak pemerintah, sesuatu yang tidak terjadi di masa Orba.
Deregulasi memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk berinvestasi di bidang ketenagalistrikan. Namun kebebasan ini bukan lah kebebasan tanpa aturan seperti yang disangka oleh banyak orang. Banyak orang yang khawatir, dengan swasta mempunyai pembangkit listrik atau sebagai retailer yang menjual listrik, maka mereka dapat memainkan harga jual listrik. Kekhawatiran ini sebenarnya dapat dihapuskan, jika masyarakat memahami mekanisme yang terjadi dalam pasar listrik yang kompetitif.
Dalam pasar listrik yang kompetitif, tidak ada satu pun perusahaan pembangkit listrik yang berhak memonopoli pangsa pasar. Jelas hal ini sesuai dengan prinsip anti monopoli
6
tidak boleh memperbolehkan adanya akumulasi kekayaan pada segelintir orang. Ada batas maksimum share kapasitas daya terpasang pembangkit listrik dalam satu sistem tenaga listrik. Jika pada suatu saat harga listrik melonjak tinggi, maka ada badan pengawas (dalam UU 20/2002 disebut sebagai Bapeptal) yang akan memeriksa kewajarannya. Jika ada produsen yang terbukti bersekongkol melakukan market power, atau menyembunyikan informasi, maka akan dikenai sangsi. Di badan pengawas ini lah sebenarnya masyarakat bersatu atau berserikat untuk memastikan bahwa listrik benar-benar digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Jika harga listrik cenderung naik secara stabil, maka hal ini sebenarnya merupakan sinyal bagi investor bahwa ada kesempatan untuk masuk berinvestasi. Masuknya pembangkit listrik baru akan membawa keseimbangan baru dalam penentuan marginal cost. Secara sederhana, fenomena ini mirip gelombang sinusoidal, dimana ada saat gelombang mencapai nilai maksimum, lalu turun ke nilai minimum, naik lagi dst. Dalam jangka panjang, produsen dan konsumen akan sama posisinya, apa yang dijual sama dengan apa yang dibeli, atau sesuai dengan prinsip keadilan, tidak ada yang dilebihkan dan yang dikurangi dalam jual beli.
Lain halnya dengan kondisi saat ini. Masing-masing pihak, baik produsen, konsumen dan regulator(pemerintah) sama-sama dirugikan. Produsen listrik dipaksa membangkitkan listrik dan
7
diharuskan menjual di bawah biaya produksinya. Jelas hal ini tidak adil. Kekurangan biaya tsb ditutup pemerintah dengan subsidi yang tetap tidak sepadan dengan prinsip keekonomian. Akibatnya semakin lama, produsen akan semakin terpuruk, dan semakin tidak bisa mengembangkan perusahaan dan melayani kebutuhan listrik yang semakin meningkat.
Konsumen juga dirugikan dengan kurangnya listrik yang dihasilkan produsen, ditambah tidak adanya pilihan lain selain membeli listrik dari produsen yang monopolistik. Belum lagi konsumen terus menerus merasa curiga dengan harga listrik yang dibayarkannya, karena selalu merasa overpriced akibat ketiadaan produsen pembanding. Pemerintah pun juga rugi karena dianggap tidak kapabel dalam menangani permasalahan ini, ditambah lagi setiap tahun harus dipusingkan memikirkan besaran subsidi yang diperlukan. Jelas asas manfaat bagi masyarakat, banyak yang tidak terpenuhi.
Lalu bagaimana kah dengan rakyat miskin? Apakah mereka harus membayar listrik dengan harga pasar? Jawabannya tentu saja tidak. Rakyat miskin tetap akan menikmati listrik dengan harga subsidi. Lalu siapa kah yang harus membayar dengan harga pasar? Tentu saja rakyat selain rakyat miskin. Pada dasarnya, dengan model monopoli atau tidak, rakyat miskin tetap mendapatkan bantuan subsidi listrik. Dengan sistem pasar listrik monopoli yang sekarang ada, selain rakyat miskin, seperti industri, golongan menengah dan mampu pun juga menikmati subsidi dari negara. Tentu saja hal ini tidak pada tempatnya.
Bagaimana kah model pasar listrik itu sendiri?
8
Pasar listrik di berbagai negara dapat dikelompokkan menjadi 3 model:
1. Model Power pool / PoolCo
2. Model Kontrak Bilateral
3. Model Hybrid
Model PoolCo mempertemukan jumlah dan harga penawaran (bids) penjual dan pembeli. Dalam hal ini yang memutuskan adalah Independent System Operator (ISO) atau Power Exchanger (pelaksana pasar). ISO/PX ini menentukan spot price / market clearing price (MCP) dan penentuan pembangkit yang beroperasi (economic dispatch). Dalam kompetisi yang ideal, MCP akan sama dengan marginal cost. Contoh pasar yang menggunakan model ini adalah Pennsylvania-New Jersey-Maryland Interconnection (PJM)
,
New York Independent System Operator (NYISO)
,
9
ISO New England (ISO-NE)
,
Chile, Argentina, Inggris dan Wales.
Dalam model kontrak bilateral, produsen dan konsumen dipertemukan langsung dan lebih bersifat desentralisasi. Peran ISO disini hanyak memastikan bahwa transaksi dapat dipenuhi dengan memperhitungkan kapasitas security sistem transmisi. Contoh negara yang menganutnya adalah Norwegia.
Model kontrak hybrid menggabungkan kedua model tsb. Penggunaan power pool tidak diwajibkan. Power pool melayani partisipan pasar yang tidak memiliki kontrak bilateral. Contoh pasar ini adalah California ISO (CAISO).
Berikut adalah wholesale electricity markets dari Wikipedia, Australia – NEMMCO the Australian Market Administrator Canada – Independent Electricity System Operator (IESO) Ontario Market and Alberta Electric System Operator (AESO) Chile Scandinavia – Nord Pool [2] France, – Powernext [3] Germany – European Energy Exchange EEX Great Britain – Elexon India New Zealand – see New Zealand Electricity Market Philippines – see Philippine Wholesale Electricity Spot Market
10
USA – see ERCOT Market, PJM Market, New York Market, Midwest Market, and California ISO Singapore – see Energy Market Authority, Singapore and Energy Market Company (EMC)
Apa yang dimaksud dengan ISO? ISO adalah organisasi non-profit independen yang anggotanya berasal dari pelaku pasar ketenagalistrikan, mulai dari wakil perusahaan pembangkit, transmisi, distribusi dan konsumen akhir, yang tugas utamanya menjaga agar sistem selalu dalam keadaan setimbang. ISO mengendalikan operasi jaringan dan memastikan akses terbuka bagi seluruh pengguna sistem transmisi. ISO berhak menggunakan sumber daya atau melepas beban untuk menjaga keamanan dan kestabilan sistem. ISO juga mengkoordinasikan penjadualan pemeliharaan pembangkit, saluran transmisi dan elemen2 lainnya.
B. Harga Beli Listrik dari Energi Alternatif dan Subsidi Listrik
Harga jual listrik dari masyarakat ke PKUK (PLN) adalah sesuai dengan Permen ESDM 02/2006, termasuk mengenai aturan harga jualnya adalah 0.8 x BPP jika masuk ke tegangan menengah dan 0.6 x BPP provinsi jika masuk ke tegangan rendah. Dalam hal ini PLTMH yang dimaksud ternyata masuk jaringan tegangan rendah dengan BPP tegangan rendah provinsi Jawa Barat yang sebesar Rp 720/kWh. Mengenai BPP regional, itu ditetapkan oleh Menteri.
Mengenai alasannya, mungkin dibuat dengan asumsi bahwa jaringan yang ada adalah jaringan yang terinterkoneksi. Implikasinya di titik mana pun energi listrik masuk ke jaringan, maka akan mempunyai kemungkinan untuk mengalir ke bagian mana pun dalam sistem interkoneksi tersebut dengan dibatasi oleh kemampuan jaringan. Artinya, karena ada kemungkinan bahwa energi yang dihasilkan akan dialirkan melalui saluran transmisi ke daerah lain, maka arti tegangan menjadi penting disini. Seperti yang kita ketahui rugi2 listrik berbanding terbalik dengan tegangan, atau semakin tinggi tegangan maka rugi2 akan lebih kecil untuk sejumlah energi yang sama yang disalurkan.
11
Ada pun argumen bahwa pembangkit listrik yang dekat dengan beban bisa dihargai lebih mahal sesuai hukum pasar, memang benar untuk pasar listrik yang sudah dideregulasi (seperti yang dimaui oleh UU No 20/2002 yang batal). Namun sayangnya, pasar listrik kita memang masih regulated, jadi mau tidak mau, harga jual/beli listrik masih harus mengikuti regulasi.
========== APBN %thd PDB RAPBN-P % thd PDB % thd APBN
Subsidi Energi 75.59 1,8 161.19 3,8 213,2
1) Subsidi BBM 45.80 1,1 106.19 2,5 231,8
2) Subsidi Listrik 29.78 0,7 54.99 1,3 184,7
Logikanya, daripada uang negara keluar untuk membiayai subsidi, memang lebih baik dipakai untuk membeli sumber listrik terbarukan dengan harga yang menarik. Tujuannya untuk merangsang pertumbuhan penyedia energi listrik terbarukan. Cuma mungkin pemerintah (yang membuat aturan harga jual listrik adalah pemerintah) belum berpikir sejauh itu, karena masih direpotkan dengan banyak hal, seperti gonjang-ganjing keputusan menaikkan harga BBM.Sebelumnya penulis menyatakan sedikit disclaimer, meski penulis berusaha mendapatkan sumber yang valid, kebenaran informasi yang ditulis tidak bisa dijamin Penulis juga mohon maaf karena mengutip berita tahun kemarin, untuk asumsi2 yang digunakan:
Sedang Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi J Purwono mengungkapkan subsidi listrik untuk tahun 2008 diusulkan menjadi Rp 42,6 triliun atau mengalami kenaikan Rp16,8 triliun dibandingkan APBN 2007 sebesar Rp25,8 triliun. Subsidi sebesar itu merupakan skenario maksimal dengan asumsi PT PLN mendapat marjin 5%. ”Sementara, kalau PLN tidak mendapat marjin maka subsidinya menjadi Rp36,93 triliun,” ujar J Purwono.
Asumsi untuk menghitung skenario maksimal adalah konsumsi BBM 9,556 juta kiloliter, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik Rp930,17 per kWh, pertumbuhan penjualan listrik 6,8 persen, susut jaringan 10,14 persen, harga minyak $US 60/ barel, dan nilai tukar Rp9.400.
Sedangkan, apabila memakai skenario minimal maka dengan marjin PLN lima persen, maka kebutuhan subsidi menjadi Rp38,21 triliun dan Rp32,73 triliun untuk marjin nol persen. Asumsi yang dipakai buat skenario minimal ini adalah konsumsi BBM 9,556 juta kiloliter, BPP listrik Rp896,1 per kWh, pertumbuhan penjualan listrik 6,8 persen, susut jaringan 10,14 persen, harga minyak $US 57/ barel, dan nilai tukar Rp9.400.
12
Sumber: http://imadudd1n.wordpress.com/2008/03/09/pasar-ketenagalistrikan-%E2%80%93-struktur-pasar-dan-operasi-1/ 31 Oktober 2010, 18.05 http://imadudd1n.wordpress.com/2008/06/14/pasar-ketenagalistrikan-%E2%80%93-struktur-pasar-dan-operasi-2/ 31 Oktober 2010, 18.31 http://imadudd1n.wordpress.com/2008/05/12/harga-beli-listrik-dari-energi-alternatif-dan-subsidi-listrik-2008/ 31 Oktober 2010, 18.49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar