Senin, 08 November 2010

Billy R. Rompas-Bisnis Sinyal

NRI : 070213053
Minat : Informatika
BISNIS SINYAL

A. Pendahuluan
Di Indonesia, liberalisasi bisnis sinyal dimulai sejak tahun 1995, saat pemerintah mulai membuka kesempatan kepada swasta untuk berbisnis telepon seluler dengan cara kompetisi penuh. Bisa diperhatikan, bagaimana ketika teknologi GSM (global system for mobile) datang dan menggantikan teknologi seluler generasi pertama yang sudah masuk sebelumnya ke Indonesia seperti NMT (nordic mobile telephone) dan AMPS (advance mobile phone system). Ketika di tahun 1980-an, teknologi Global System for Mobile Communication (GSM) datang ke Indonesia, maka para operator pemakai teknologi AMPS (Advanced Mobile Phone System) menghilang. Kemudian muncul Satelindo sebagai pemenang, yang kemudian disusul oleh Telkomsel. Dan pada akhirnya teknologi GSM lebih unggul dan berkembang pesat ini dikarenakan kapasitas jaringan lebih tinggi, karena efisiensi di spektrum frekuensi dari pada teknologi NMT dan AMPS.
Dalam kurun waktu hampir satu dekade, teknologi GSM telah menguasai pasar dengan jumlah pelanggan lebih dari jumlah pelanggan telepon tetap. Di Indonesia, liberalisasi bisnis seluler dimulai sejak tahun 1995, saat pemerintah mulai membuka kesempatan kepada swasta untuk berbisnis telepon seluler dengan cara kompetisi penuh.
B. Magnet Bisnis Sinyal
Pertumbuhan dunia selular yang spektakuler juga dipicu oleh kepemilikan multi ponsel oleh konsumen. Termasuk pula dalam ragam penggunaannya. Hal ini ke depan akan turut mendorong bidang bisnis lain untuk ikut menceburkan bisnisnya dalam dunia selular. Saat ini, kebutuhan akan komunikasi semakin tidak dapat dihindarkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh SurveyOne baru-baru ini, lebih dari 50% pengguna ponsel, menelpon (call out) antara 9-15 kali dalam sehari. Bahkan, 7.4% diantaranya mengaku menelpon lebih dari 20 kali dalam sehari. Disisi lain, pengunaan ponsel untuk mengirim pesan singkat (SMS), rata-rata 53 kali dalam sehari. Frekuensi mengirim SMS bagi kelompok remaja, jauh lebih tinggi. Dalam sehari, rata-rata 78 pesan singkat yang dikirim oleh kelompok ini.
Dengan kenyataan ini, rasanya kebutuhan akan komunikasi dapat digolongkan menjadi salah satu dari 10 kebutuhan pokok, melengkapi sembilan kebutuhan pokok yang sudah dikenal lebih dulu.
Menurut Asosiasi Telepon Selular Indonesia (ATSI), pertumbuhan jumlah handset rata-rata 20% per tahun. Pada bulan November 2007, jumlahnya telah mencapai 80 juta handset. Diperkirakan pada medio 2009 ini, jumlah yang beredar di seluruh Indonesia sekitar 115 juta. Angka ini masih lebih kecil bila dibandingkan dengan data yang di release oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), yang mencapai angka 160 juta handset. Tidak mengherankan jika benda yang satu ini bisa ditemukan dimana saja. Di sawah, gunung, pulau kecil apalagi di perkotaan.
Pertumbuhan ini juga didorong oleh kebiasaan masyarakat perkotaan untuk memiliki lebih dari satu handset. Dengan alasan memisahkan urusan pribadi dan bisnis, sebanyak 45.2% mengklaim harus memiliki dua handset. Tidak hanya dua, 7.2% terpaksa harus memisahkan urusan keluarga, bisnis dan sangat pribadi, sehingga harus memiliki tiga sampai empat buah handset.
B.1. Pasar Low Dan High End
Seperti produk-produk lainnya, karakter pasar Handphone pun berbentuk seperti piramida. Dimana pasar dibagi dalam tiga segmen, pertama adalah segmen Low-End. Pasar Low-End adalah kelompok masyarakat yang menggunakan ponsel dengan harga maksimal Rp 1,5 juta. Segmen ini sangat besar, dengan persentase mencapai 65.2%, hampir semua produsen ponsel nyemplung di segmen ini. Segmen berikutnya yang juga cukup besar adalah segmen dengan range harga ponsel antara Rp 1,5 juta hingga Rp 4 juta sebesar 29.2%. Sementara pangsa pasar High-End hanya sebesar 5.6%.
Pilihan merek dan jenis handphone pun semakin beragam. Berbagai Fitur terus dikembangkan dan ditawarkan oleh para produsen. Research in Motion (RIM) selaku produsen Blackberry, cukup mengejutkan pasar handphone pada awal tahun ini. Dengan keunggulan
push email dan selalu terhubung pada global news and network, BB (demikian biasa merek ini disebut), mulai mengenggam 0.4% pangsa pasar.
Nokia, sebagai merek yang cukup lama bermain di pasar Indonesia, tidak melepaskan ketiga segmen pasar yang ada. Secara keseluruhan, Nokia merupakan merek yang paling banyak digunakan. Lima besar merek-merek ponsel yang digunakan adalah Nokia (72.2%), Sony Ericsson (22.6%), Esia/Huawei (9.6%), Samsung (5.4%), dan Motorola (3.8%).
B.2. Alasan Dan Perilaku
Strategi tepat sasaran mesti terus dikembangkan oleh para produsen ponsel untuk dapat meraih pasar Indonesia yang semakin competitif. Konsumen Indonesia memiliki perilaku yang berbeda saat membeli ponsel yang pertama (ponsel utama) dengan ponsel yang kedua (ponsel pelengkap). Pemahaman terhadap perbedaan ini akan membantu dalam menajamkan strategi.
Ponsel dengan kualitas bagus, easy to use dan modelnya menarik menjadi pertimbangan utama dalam memilih ponsel pertama kali atau untuk mengganti ponsel utama. Sementara untuk ponsel kedua, harga murah, pilihan modelnya banyak, dan teknologinya CDMA/ DUAL yang dijadikan sebagai syarat utama.
Tidak cukup hanya sekedar mengetahui hal-hal yang dijadikan pertimbangan dalam memilih sebuah ponsel, untuk mengembangkan marketing strategy. Lebih jauh lagi, mengetahui kebiasaan konsumen saat akan membeli ponsel, akan memberikan masukan yang sangat berharga dalam menentukan pilihan terhadap bentuk komunikasi yang akan digunakan. Peluang untuk dijadikan sebagai pilihan, bagi merek ponsel yang tidak melakukan komunikasi Above the Line, hanya 20.2%. Karena, 79.8% konsumen yang akan membeli ponsel, telah menentukan merek yang akan dibeli. Walaupun 14.6% diantaranya akan berdiskusi dengan penjual terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membeli sebuah merek ponsel. Artinya, peran penjaga toko dalam mempengaruhi konsumen yang akan membeli ponsel adalah 34.8%.
Berapa kali anda melakukan penggantian ponsel dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini? Jika anda belum mengganti ponsel dalam kurun waktu tersebut, anda termasuk 30% konsumen ponsel di Indonesia. Sisanya, 70% konsumen menyatakan bahwa mereka melakukan
penggantian ponsel dalam rentang waktu dua tahun. Selanjutnya, konsumen yang melakukan pengantian sedikitnya sekali dalam dua tahun sebanyak 18.8%, dua kali (27.2%), tiga kali (15.0%), empat kali (5.4%) dan mengganti ponsel lebih dari empat kali adalah 3.6%.
Alasan melakukan penggantian ponsel pun cukup beragam. Mulai dari mengganti dengan model yang lebih baru (57.1%), hilang (15.2%), rusak (14.0%) hingga karena fiturnya dirasakan sudah tidak memadai lagi (10.0%).
C. Pasar Bisnis Seluler di Jawa
Pasar bisnis seluler di Jawa Barat saat ini sudah semakin jenuh. Kondisi itu disebabkan pembangunan base transceiver station (BTS) yang dibatasi. Akibatnya, operator melakukan perang tarif untuk merebut pelanggan.
General Manager Regional Sales and Customer Service Jabar Tubagus Daniel Azhari di Bandung mengatakan, pengembangan usaha masih terkendala karena tidak adanya peraturan daerah di sebagian besar kabupaten/kota tentang BTS. Kondisi itu membuat operator selular di Jabar membangun BTS secara terbatas.
Akibatnya, daya jangkau komunikasi seluler di Jabar pun sulit diperluas sehingga operator bersaing semakin ketat di wilayah yang sudah dibangun BTS. "Wilayahnya sama dengan operator berbeda. Dampaknya, persaingan cenderung tak sehat. Pergerakan operator dibatasi," katanya.
Telkomsel, misalnya, dapat membangun sekitar 700 site (titik) BTS pada 2009. Jumlah itu jauh menurun dibandingkan rencana pada 2010 menjadi sekitar 350 site BTS. Pada akhir 2009, terdapat sekitar 1.400 site BTS Telkomsel di Jabar. Wilayah kerja Telkomsel di Jabar mencakup semua kabupaten/kota kecuali Sukabumi, Bogor, Purwakarta, Bekasi, Depok, dan Karawang.
Jumlah penduduk di wilayah kerja Telkomsel Jabar sekitar 28 juta orang. Penetrasi perusahaan seluler di wilayah itu sudah sangat tinggi dengan jumlah pengguna ponsel sekitar 23 juta untuk semua konsumen operator.
"Jadi, penetrasi untuk semua operator sudah mencapai lebih dari 80 persen dari total penduduk. Angka yang sangat tinggi," ujar Daniel. Fenomena yang terjadi ialah akuisisi pelanggan seluler. Perpindahan kartu seluler yang terjadi secara gencar juga dipicu perang tarif. Operator saling berlomba menawarkan tarif murah karena harus menghadapi persaingan yang sangat ketat untuk merebut pelanggan.
C.1 Tarif murah
Menurut Koordinator StarOne Bandung Iis Rusdiana mengatakan, tarif murah kartu seluler yang kian gencar dipromosikan menyebabkan jumlah pengalihan pengguna jasa operator sangat besar. Di Bandung dan sekitarnya yang mencakup Kota Bandung dan Cimahi serta Kabupaten Sumedang, Bandung, dan Bandung Barat, terdapat sekitar 7 juta pelanggan seluler. Lebih dari 40 persen atau 2,8 juta orang di antaranya merupakan pelanggan yang kerap berganti-ganti kartu seluler.
"Mereka berduyun-duyun pindah operator jika ditawari program tarif murah baru. Pelanggan seperti itu sangat sensitif terhadap tarif murah," katanya.
Saat ini hampir semua operator menawarkan tarif murah termasuk StarOne. Tarif menelepon pengguna StarOne ke operator lain Rp 750 per menit di Bandung, misalnya, sudah jauh lebih
murah mulai akhir 2009 menjadi Rp 75 per menit. Bandung termasuk kota yang paling dibidik operator. Semua produk operator seluler bisa ditemukan di Bandung.
Menurut pemilik server pulsa Sipaato, Atto Sunarto (33), sulitnya mencari pelanggan seluler baru diindikasikan dengan penjualan kartu perdana yang tidak signifikan. Sejumlah pedagang pulsa sebenarnya tidak begitu berminat menjual kartu perdana. (bay)
D. Strategi Bisnis PT. Komunikasi Selular Indonesia dalam Menghadapi Persaingan Industri Penyelenggara Telekomunikasi Seluler
Pada awal milenia ke-3 ini bangsa Indonesia dihadapkan pada banyak masalah. Utamanya pada disintegrasi bangsa dan pemulihan ekonomi nasional. Telekomunikasi yang berfungsi untuk meneniskan pesan dari asal ketujuan sangat dibutuhkan untuk mampu mendukungnya bukan saja pada masa sekarang bahkan pada masa yang akan datang diperiukan terus menerus secara lebih baik, aritara lain dengan saling berinteraksi, demi mendorong psningkatan produkiivitas dan efesisnai usaha meialui pertuksran informasi diberbagai bidang, antara lain sosial, ekonomi, teknologi dan lain sebagainya. Fungsi pertukaran informasi inilah yang perlu terus dikembangkan melalui telekomunikasi, lebih khusus melalui telckomunikasi nirkabel dimasa mcndatang.
Komselindo sebagai salah satu operator seluler yang mengoperasikan dua macam teknologi yaitu AMPS (teknologi analog) dan CDMA (teknologi digital). AMPS yang memakai teknologi analog mempunyai banyak kekurangan dibandingkan GSM yang memakai teknologi digital, sehingga banyak peianggan AMPS yang beraiih ke GSM. Untuk mengimbangi GSM dan memberi pelayanan yang lebih baik kepada peianggan, PT. Komselindo mulai tahun 1997 menggunakan CDMA di seluruh wilayah layanannya. Namun sangat disayangkan krisis moneter yang melanda Indonesia, telah menyebabkan tertundanya peluncuran CDMA secara besar besaran hingga saat ini. Nilai tukar Rupiah terhadap Amerika Dollar yang terus melemah menyebabkan harga handset CDMA yang hams diimport menjadi sangat mahal saat dijual di
Indonesia, sehingga tidak terbeli oleh sebagian besar masyarakat, terlebih pada situasi krisis saat itu.
C.1. Perpustakaan Pusat
Kondisi perekonomian yang mulai membaik dan pasar telepon seluler mulai tumbuh kembali dengan pesat, tetapi CDMA belum bisa beroperasi sepenuhnya menggantikan AMPS. Penyebab yang membuat pelanggan AMPS maupun GSM enggan untuk memakai CDMA, dikarenakan antara lain harga handset yang masih lebih mahal dibandingkan handset GSM, model handset kurang menarik dan daerah pelayanan yang tidak seluas GSM. Faktor keterbatasan ini membuat pelanggan Komselindo yang kurang puas dengan AMPS berpindah ke GSM.
Menurunnya jumlah pelanggan membuat pendapatan Komselindo ikut nienurun sehingga struktur keuangan perusahaanpun tidak kuat. Struktur keuangan yang lemah membuat KomseHndo tidak mempunyai dana yang cukup untuk melakukan promosi besar-besaran, sehingga CDMA kurang dikenal oleh masyarakat luas. Seperti diketahui bahwa untuk memperkenaikan sesuaru yang baru diperlukan promosi yang besar dan intensif. Ditainbah lagi akan masuknya beberapa pemain bara yang mengoperasikan teknologi DCS 1800 (GSM 1800) pada tahun 2001 ini yang akan didukung oleh modal yang besar dan teknologi selular baru akan rrienjadi ancaman berat untuk Komselindo. Trend teknologi seluler masa depan (3G) yang berbasis teknologi digital CDMA, pertumbuhan pasar telepon seluler yang makin pesat dan didukung faktor-faktor internal yang menguntungkan seperti pengaiaman sebagai operator seluler sejak tahun 1991, bangkitnya riset dan development menjadi dasar bagi Komselindo untuk menerapkan strategi growth untuk jangka waktu lima tahun kedepan. Permasalahan
internal Komselindo seperti struktur keuangan yang lemah, kondisi SDM dengan loyalitas kerja rendah, koordinasi internal kurang baik merupakan hambatan tersendiri untuk mencapai tujuan pertumbuhan jangka panjang.
Sumber : http://yasdinulhuda.files.wordpress.com/2007/08/cdma.pdf at 8 November 2010 19.02 http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/16/0968cf9d7f923268c81766eb1c44b4086da25713.pdf at 8 November 2010 19.025 http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=90207 at 8 November 2010 19.55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar