Senin, 01 November 2010

BISNIS KETENAGALISTRIKAN - Prety Tobuhu


TUGAS 2  MANAJEMEN & KEWIRAUSAHAAN

NAMA       : PRETY CHRISTY TOBUHU
NRI            : 070213055

1.     PENDAHULUAN
Energi merupakan salah satu program pokok pemerintah di samping  program pangan. Kebutuhan energi secara normatif akan meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, membaiknya taraf hidup dan berkembangnya industri.  Sebagai negara yang sedang bertumbuh/berkembang, Indonesia juga mengikuti norma tersebut. Sejak reformasi 1998, manajemen tata negara mengalami perubahan-perubahan  yang  mendasar. Perubahan tersebut berdampak amat besar pada kebijakan di hampir semua sektor kehidupan bernegara dan berbangsa.
Namun, di sektor energi khususnya, kita masih berpegang teguh  bahwa  minyak bumi (BBM), gas dan batu bara merupakan komoditi-komoditi  andalan sebagai sumber devisa. Padahal seharusnya  kita juga harus menata ulang kebijakan sektor energi  agar  secara  strategis  dapat menyesuaikan gerak pembangunan nasional dengan  keseimbangan  baru  dalam perubahan global. Peta  energi  nasional menunjukkan  bahwa Indonesia tidak lagi sebagai negara pengekspor minyak seperti dulu.  Gas alam dan batu bara Indonesia sudah terikat kontrak  luar negeri (Jepang, Korea, China). Tulisan ini dimaksudkan untuk mengajak kita semua melakukan evaluasi  agar sumber-sumber energi yang kita miliki tidak hanya menjadi sumber devisa tetapi juga menjadi kekuatan politik dan posisi tawar diplomasi Indonesia.
Ukuran kemajuan dan kemakmuran suatu negara  dapat dilihat berapa besar penggunaan energi listrik perkapita suatu negara. Bertambah besar energi yang dikonsumsi suatu negara berarti bertambah maju atau bertambah makmur negeri tersebut. Hal ini tidak lain karena “listrik” merupakan lambang kemajuan ekonomi atau lambang kemajuan teknologi. Bayangkan saja kalau listrik sudah merata masuk ke desa, ke pelosok manapun, sudah barang tentu rakyatnya menggunakan produk-produk industri, kulkas, mesin cuci, kipas angin, kompor listrik, air conditioner (AC), penerangan (lampu), mesin pompa air, dan lain sebagainya. Ditambah lagi kecenderungan dunia untuk memanfaatkan listrik secara maksimal  karena listrik merupakan bentuk energi yang paling bersih, praktis dan efisien. Bahkan tidak hanya untuk keperluan rumah tangga, tetapi  listrik juga menjadi andalan dalam proses industri modern seperti: dalam industri tekstil, industri komputer, industri  elektronika, industri robotic dan industri transportasi sekalipun, ke depan ini digerakkan dengan listrik seperti: kereta api, mobil listrik dan sebagainya. Oleh karena itu, negara maju berlomba untuk men-supply listrik dengan biaya pembangkitan yang  murah, efisien, dan ramah terhadap lingkungan.
Sampai sekarang, tercatat hanya 5 (lima) sumber energi utama (primer) yang digunakan untuk pembangkit tenaga listrik  yaitu: minyak bumi, batubara, gas alam, nuklir, dan air.



















2.     Aspek – aspek bisnis Ketenagalistrikan

STL



Sebelum suatu pasar ketenagalistrikan dideregulasi, kepemilikan dan pengusahaan sistem tenaga listrik (STL) dilakukan oleh badan usaha yang terintegrasi secara vertikal dari pembangkitan, transmisi sampai distribusi dikuasai di satu tangan. Dalam hal ini, PLN adalah badan usaha ini, yang memegang kuasa usaha ketenagalistrikan di Indonesia. Di dalam BUMN ini terdapat bagian yang berfungsi sebagai pusat kendali sistem ketenagalistrikan yang mengatur sistem manajemen energi (SME), dalam hal ini adalah P3B untuk sistem Jawa Madura Bali. SME ini berbasis SCADA (Supervisory Control and Data Acquisition) yang mempunyai fasilitas perencanaan dan analisis fungsi-fungsi operasi ini bertujuan mengoptimumkan sistem pembangkitan dan penyaluran energi listrik.


Fungsi-fungsi SME:
·        Prediksi beban dalam jangka pendek
·        Menetapkan komitmen unit
·        Dispatch (perintah) pengoperasian pembangkit listrik
·        Mengendalikan daya reaktif
·        Memperkirakan kondisi sistem
·        Mengendalikan pembangkit listrik secara otomatis
·        Pencegahan dan pengendalian keamanan kondisi darurat
Pusat kendali ini juga mengatur aliran daya antar daerah untuk meningkatkan keamanan sistem dan cadangannya. Selain pusat kendali, biasanya juga ada badan yang menetapkan kriteria keandalan dan perencanaan STL. Namun karena belum dideregulasi, lagi-lagi kriteria ini ditetapkan oleh PLN sendiri.

Ciri-ciri khas STL yang masih dikuasai oleh badan usaha yang terintegrasi secara vertikal:
·        Monopoli (secara alami terjadi karena sifat investasinya yang sangat besar), tapi diatur oleh UU
·        Mengandalkan prinsip “biaya termurah” (least cost) untuk perencanaan dan operasi
·        Biaya ini meliputi pembangkitan, transmisi dan distribusi sampai dengan titik sambung di konsumen
·        Tarif listrik yang ditetapkan atau diatur ini terdiri dari biaya produksi ditambah laba yang ditetapkan pemerintah, namun sering kali terjadi distorsi harga akibat intervensi politik.
·        Aturan rate of return tarif listrik ini bertujuan untuk memastikan produsen dapat menutup semua biaya produksinya
Contoh tarif yang terdistorsi ini yang paling nyata terjadi di Indonesia, pada jaman Orba, tarif listrik disubsidi sangat besar sehingga rakyat merasa menikmati listrik “murah”. Lebih parahnya lagi, beberapa pemerintahan setelahnya juga tidak berani menaikkan tarif listrik jika menjelang Pemilu, meski ada argumen naiknya tarif akan menimbulkan biaya baru,social costs berupa gejolak di masyarakat dan tentunya incumbent yang tidak populer. Murahnya tarif ini sesungguhnya semu, karena sebenarnya negara lah yang harus membayar subsidinya, yang notabene negara ini dibiayai rakyat dari pajak. Seandainya negara tidak dibebani subsidi listrik, anggaran yang ada dapat dipakai untuk hal-hal lain, misalnya untuk pendidikan, pengembangan usaha kecil dsb.

Hal lain yang sangat merugikan adalah mendidik bangsa ini untuk menganggap listrik sebagai produk masal yang murah sehingga bisa dipakai seenaknya. Akibatnya apa? Kita menjadi bangsa yang boros energi listrik, dari dunia industri yang boros energi dengan pemakaian alat-alat produksi yang rendah efisiensi termalnya sampai dengan budaya pemakaian listrik di rumah tangga-rumah tangga di Indonesia. Jika kita melihat rumah tangga di negara maju yang tarif listriknya tidak terdistorsi, kita tidak akan melihat lampu di dalam rumah yang terang benderang, kecuali orang yang benar-benar kaya, ketika para penghuninya sudah pergi tidur atau tidak menggunakannya lagi. Beda dengan di Indonesia, jangankan di malam hari, kadang di siang bolong, bohlam lampu nyala kadang juga tidak dimatikan.

Isu-isu lainnya dalam sistem yang terintegrasi secara vertikal ini adalah:
·        Konsumen tidak punya pilihan
·        Ketidakefisienan ekonomi dalam jangka pendek akibat tarif listrik berdasarkan harga rata-rata seluruh pembangkit listrik. Lain halnya dalam pasar listrik yang telah direstrukturisasi, konsumen mendapatkan tarif listrik berdasarkan biaya marginal atau harga listrik dari pembangkit listrik terakhir yang terjual.
·        Insentif yang kurang kuat untuk mengurangi harga
·        Beban finansial berat bagi pemerintah (subsidi pemerintah untuk BBM PLN sebesar Rp 37.3 triliun pada tahun 2007)
Sebagai ilustrasi, saat ini harga listrik PLN pada dasarnya adalah harga rata-rata produksi seluruh pembangkitnya (dikenal sebagai Biaya Pokok Produksi), dari yang paling murah, pembangkit hidro sampai yang sangat mahal yang berbasiskan BBM (bahan bakar minyak) seperti PLTU minyak, PLTD, PLTG minyak. Akibatnya dapat ditebak BPP PLN lebih mahal dari harga listrik di banyak negara lain, seperti yang sering dikeluhkan oleh lembaga konsumen. Sebagai contoh RRP(regional retail price) suatu daerah di Australia (pasar listrik deregulasi) berkisar di antara $15 – $30/MWh atau sekitar Rp120 – Rp300/kWh. Menurut berita di web.bisnis.com harga BPP PLN di wilayah Jawa-Bali saat ini tahun 2008 sekitar Rp831 – Rp936 per kWh untuk tegangan rendah, Rp745- Rp840 untuk tegangan menengah dan Rp704 – Rp794 per kWh untuk tegangan tinggi. 
 
 

























Dalam pasar yang telah direstrukturisasi, konsumen hanya membayar harga listrik sebesar harga listrik dari pembangkit listrik yang listriknya terakhir terjual (lihat gambar). Listrik dalam pasar ini dibeli dari pembangkit yang menawarkan harga termurah. Misal daya terpasang di suatu daerah 3000 MW terdiri dari pembangkit hidro, PLTU batubara dan PLTG minyak. Masing-masing pembangkit menawarkan harga atau bids dengan harga seperti pada gambar. Maka jika beban atau load pada suatu saat mencapai 2000 MW maka konsumen hanya perlu membayar Rp 500/kWh.

BPP yang mahal ini juga konsekuensi logis dari struktur jenis pembangkit listrik di Indonesia yang mempunyai pembangkit listrik berbasis BBM terlalu besar porsinya. Proyek 10000 MW dengan mendirikan pembangkit berbahan bakar batubara, yang ber-BPP relatif rendah, pada dasarnya adalah solusi jangka pendek juga. Solusi yang paling tepat adalah penggunaan energi nuklir yang relatif murah dan ramah lingkungan.
 Negara-negara yang belum memiliki PLTN, karena kontroversinya, seperti Australia, yang merasa mempunyai cadangan batubara yang berlimpah, lambat laun juga mengalami masalah energi. Belum lagi dengan tuntutan pengurangan emisi gas buang penyebab efek rumah kaca atau protokol Kyoto, seperti yang kita tahu coal-fired power plant a.k.a. PLTU batubara ini adalah salah sumber sumber pencemar udara terbesarAustralia adalah negara yang terakhir meratifikasinya, menjadikan Amerika (US) menjadi satu-satunya negara yang belum menandatanganinya. Dalam KTT Perubahan Iklim di Bali, Indonesia, isu ini telah sangat kuat, termasuk pengenaan carbon tax sebagai pengganti carbon trading bagi negara-negara yang punya kontribusi besar sebagai pencemar udara.

Indonesia menawarkan diri sebagai negara penerima carbon trading tersebut dengan alasan uang yang diterima bisa dipakai untuk menjaga dan merehabilitasi hutan hujan tropis yang merupakan paru-paru dunia. Alasan yang sebenarnya masuk akal, cuma membuat kita malu sebagai bangsa, menegaskan mental bangsa peminta-minta. Alasan lain untuk tidak setuju carbon trading adalah dengan tetap menyetujuinyaitu sama artinya dengan menyetujui membiarkan negara-negara maju tetap “mengekspor” polusi udara dan kita lah yang harus membersihkannya dengan paru-paru kita.

Bagaimana dengan reputasi kita dalam menjaga hutan? Dengan tidak mengurangi hormat kita kepada aparat pemerintah yang banyak yang masih memiliki integritas dalam menjaga hutan-hutan kita, Walhi memilih untuk tidak percaya dengan ingin menyewa hutan produksi dan hutan lindung. Itu lebih baik dari pada harus jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan pertambangan, meski harus diakui illegal logging mulai banyak ditindak pemerintah, sesuatu yang tidak terjadi di masa Orba.

Ø Pasar listrik di berbagai negara dapat dikelompokkan menjadi 3 model:
1.     Model Power pool / PoolCo
2.     Model Kontrak Bilateral
3.     Model Hybrid

Model PoolCo mempertemukan jumlah dan harga penawaran (bids) penjual dan pembeli. Dalam hal ini yang memutuskan adalah Independent System Operator (ISO) atau Power Exchanger (pelaksana pasar). ISO/PX ini menentukan spot price / market clearing price (MCP) dan penentuan pembangkit yang beroperasi (economic dispatch). Dalam kompetisi yang ideal, MCP akan sama dengan marginal cost. Contoh pasar yang menggunakan model ini adalah Pennsylvania-New Jersey-Maryland Interconnection (PJM)
http://www.pjm.com/assets/images/logo.gif
 



New York Independent System Operator (NYISO)
http://www.nyiso.com/public/images/branding/logo.gif 


ISO New England (ISO-NE)
Chile, Argentina, Inggris dan Wales.
http://tbn0.google.com/images?q=tbn:Tz2dt269crzPiM:http://www.sas.com/images/success/isone/isone.jpg
 







Dalam model kontrak bilateral, produsen dan konsumen dipertemukan langsung dan lebih bersifat desentralisasi. Peran ISO disini hanyak memastikan bahwa transaksi dapat dipenuhi dengan memperhitungkan kapasitas securitysistem transmisi. Contoh negara yang menganutnya adalah Norwegia.
Model kontrak hybrid menggabungkan kedua model tsb. Penggunaan power pool tidak diwajibkan. Power pool melayani partisipan pasar yang tidak memiliki kontrak bilateral. Contoh pasar ini adalah California ISO (CAISO).
Berikut adalah wholesale electricity markets dari Wikipedia,

·        Chile
·        Scandinavia  Nord Pool [2]
·        France, – Powernext [3]
·        Germany  European Energy Exchange EEX
·        Great Britain  Elexon
·        India
·        New Zealand – see New Zealand Electricity Market
Apa yang dimaksud dengan ISO?
ISO adalah organisasi non-profit independen yang anggotanya berasal dari pelaku pasar ketenagalistrikan, mulai dari wakil perusahaan pembangkit, transmisi, distribusi dan konsumen akhir, yang tugas utamanya menjaga agar sistem selalu dalam keadaan setimbang. ISO mengendalikan operasi jaringan dan memastikan akses terbuka bagi seluruh pengguna sistem transmisi. ISO berhak menggunakan sumber daya atau melepas beban untuk menjaga keamanan dan kestabilan sistem. ISO juga mengkoordinasikan penjadualan pemeliharaan pembangkit, saluran transmisi dan elemen2 lainnya.
























3.     Penutup
Kebijakan di sektor ketenagalistrikan yang ada saat ini menyebabkan jurang ekonomi yang lebarantar daerah. Oleh karena itu perlu dipikirkan kebijakan di sektor listrik yang dapat memberi jaminan pasokan listrik jangka panjang untuk kepentingan generasi mendatang dan meningkatkan akses masyarakat di berbagai daerah terhadap bentuk-bentuk listrik modern. Kebijakan desentralisasi ketenagalistrikan saya rasa perlu dilakukan untuk mewujudkan kemandirian energi daerah, disamping itu dapat memenuhi keadilan masyarakat untuk memperoleh akses listrik (elektifikasi baru mencapai 56%). Perencanaan penyediaan listrik dengan perioritas sumber energi lokal akan lebih ekonomis karena tidak membutuhkan biaya transportasi/distribusi, serta menjaga ketahanan energi daerah sehingga lebih menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi di daerah tersebut.
Dari segi teknis, desentralisasi ketenagalistrikan meminimalisasi rugi-rugi distribusi (rata-rata 38%) karena perbedaan jarak yang jauh antara lokasi pembangkit dan pusat beban. Selain itu, diharapkan akan terjadi peningkatan kemampuan daerah dalam perencanaan ketengalistrikandaerah, termasuk melihat potensi sumberdaya alam yang dapat dijadikan sumberdaya energi untuk penyediaan listrik.
Dari segi ekonomi, desentralisasi ketegalistrikan akan memudahkan sinergi antara kebutuhan persediaan dan permintaan di daerah tersebut. Desentralisasi ketenagalistrikan juga dapat ditujukan untuk meningkatkan perekonomian daerah serta mendorong timbulnya sentra-sentra perekonomian baru di pedesaan, baik karena tersedianya akses listrik juga pengusahaan ketenagalistrikan yang berbasis masyarakat (community based small scale electricity generation).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar